1.12.11

Bukan November Rain

Rini, sori bukannya gue mo involve hubungan lo sama bembi, tapi sumpah deh bembi itu player!! “Nih baca sendiri sms kaleng, hari gini masih kalengan juga, emangnya kornet” Rini menyerahkan Handphone nya kepada Bembi “Siapa sih dia? Kirim sms ngga pake nama, jangan-jangan orang suruhan kamu yah” cecarnya lagi sambil melihat ke arah Bembi yang sedang membaca sms itu.

Sebenarnya Rini sudah agak tahu kalau Bembi, seperti banyak temannya bilang bahwa dia seorang player, tapi Rini menutup mata, yaah centil-centil dikit ngga apa-apa deh, wajar namanya juga cowo.. begitu ia berpikir, tapi sepertinya semakin lama semakin terbukti bahwa Bembi memang agak pecicilan.

“Ini saatnya elo ninggalin dia rincee… ga cape-cape deh lo disakitin mulu, gue lihat mukanya Bembi aja males, kelihatan banget playboynya” vivi sahabat barunya menasehatinya lagi

“Iya vi, tapi gimana ya gue sayang banget sama dia..”
“Tapi dia ngga sayang sama elo”
“Gue pengen banget nikah, gue pengen anak-anak gue punya ayah, setelah ayahnya pergi meninggalkan mereka”
“Ayah mereka masih ada, cuma bedanya kalian ngga 1 rumah lagi dan elo ga mau kan punya suami yang tukang selingkuh lagi”

Kata-kata Vivi membuat Rini teringat akan Bram, suami yang telah menceraikannya 1 tahun yang lalu, suami yang berselingkuh dan lebih memilih selingkuhannya, meninggalkan dia dan 2 orang anak mereka

“Kenapa ya Vi hidup gue kaya begini banget” Rini berkata dengan miris
“Sabar Rin, lo jalanin aja hidup lo apa adanya, nanti toh akan lo dapet juga hikmah dari semua ini”
“Gue pengen banget nikah, tapi kenapa cowo-cowo yang deketin gue koq kayaya bukan kandidat yang baik untuk jadi suami yah Vi”
“Elo pasti akan nemuin suami yang lebih baik dari Bram, asal lo jadi orang yang baik dulu”
“Memang ada laki-laki yang lebih baik dari Bram?”
“Ada” jawab Vivi singkat tapi mantap


“Sudah pulang mas” Rini menyambut Bram masih dalam keadaan bangun tidur sore hari
“Iya, anak-anak ke mana?” Bram melepaskan sepatu dan meregangkan badannya, terlihat kepenatan di wajahnya
“Tadi sih ada, mungkin main di rumah tetangga, aku ngga masak nih kita makan di luar saja ya”

Bram tidak menanggapi perkataan itu, sebenarnya dia ingin sekali berkata “Ya ampun Rin, kamu kan dirumah seharian masa sih ngga sempet untuk masak, dan lagi ini sudah sore koq kamu membiarkan anak-anak masih main di rumah tetangga, bukannya suruh mereka pulang, mandi, ngerjain PR kek, belajar kek, kamu tuh senangnya shopping terus, jalan-jalan di Mall tidak kenal waktu” tetapi Bram sudah terlalu lelah, tenaganya terkuras habis di kantor sampai-sampai tidak punya waktu untuk menegur istrinya

Bram dan Rini adalah salah 1 contoh pernikahan muda, Bram meminang Rini ketika Rini baru saja lulus sekolah, Rini pun menyetujui pinangan tersebut dan menikahlah mereka, tetapi keinginannya untuk berkuliah terpaksa tertunda dikarenakan Rini yang langsung hamil beberapa bulan setelah pernikahan mereka. Bram dengan senangnya meminta Rini untuk stay di rumah dan memastikan segala kebutuhan Rini terpenuhi. Rini pun menjadi Ratu di rumahnya sendiri, dengan segala yang dia mau tersedia. Ia tidak terbiasa mengurus rumah, semua dikerjakan pembantu bahkan perawatan anak-anaknya pun ia delegasikan kepada baby sitter… ia merasa semua itu adalah kompensasi dari masa mudanya yang terbuang.

Di tahun ke enam pernikahannya karier Bram semakin meningkat, sampai suatu hari ia dipindah tugaskan ke Dumai, Sumatera, dengan memboyong serta kedua putra putri dan Rini, mereka mulai menetap di sana. Rini dengan berat hati harus meninggalkan teman-teman socialitanya, hidup di pedalaman dan tanpa pembantu pula membuat ia menjadi lebih high temper.

Ia harus membersihkan rumah sendiri, memasak, mencuci, mengurus anak-anaknya sendiri, ia jadi sering mengeluh dan mengomeli kedua anaknya.

“Ya ampun Chaca kenapa tangannya?” suatu sore sepulang kerja Bram mendapati tangan Chaca berlumurah darah
“Kena pisau pah, tadi Chaca mau potong melon” Chaca terisak
“Maah, mamah mana Cha, Maahh?” Bram melongok mencari Rini
“Aduuh apaan sih pah, mamah cape tahu tadi abis nyuci, tiduran sebentar”
“Ini lihat si Chaca tangannya berdarah begini” Bram panik lalu menggendong Chaca yang baru berumur empat tahun itu dan membawanya ke Klinik dekat rumah

Lelah, itulah yang ada dalam pikiran Bram tapi ia tahu Rini akan membela diri seandainya ia membahas semua masalah rumah tangga mereka.. Ia hanya bercerita kepada Sophie, teman sekantornya yang tanpa ia sadari menaruh hati kepadanya. Ia menceritakan semua hal yang kurang disukainya dari istrinya.

“Ada baiknya kamu membicarakan semua itu dengan Rini, komunikasi itu sangat penting apalagi dalam pernikahan. Sudah yah jangan dipikirkan, kamu kan harus menyiapkan tender untuk besok, jangan sampai Pak Bambang marah gara-gara kamu ngga well prepare” Sophie yang nada bicaranya lembut, perhatian, cantik dan pintar selalu menemani dan bersedia menjadi tempat curhat Bram

Kebersamaan mereka pun semakin intim dan intens, tanpa terasa mereka menjadi lebih dekat daripada dua orang sahabat, mereka meluangkan waktu bersama jika jam kantor telah usai.. Mereka tertawa ringan membahas kelakuan orang-oang kantor yang suka ajaib tingkahnya.

“Phie, nonton yuk, sudah lama nih ngga nonton di Bioskop”
“Ngga mau ngajak Rini dan anak-anak?” Sophie bertanya sopan walaupun hatinya gembira mendengar ajakan tersebut
“Rini ngga suka nonton, dia lebih suka shopping”
Dan malam itu menjadi awal hubungan mereka yang baru.

Tiga bulan telah berlalu, Bram merasa hidupnya lebih bahagia setelah hubungannya dengan Sophie. Ia merasa Sophie adalah energynya yang baru, bukan Rini atau anak-anaknya lagi.

Ketika hari libur sering ia menyendiri di ruang kerjanya di rumah hanya untuk sekedar memandangi poto-poto mesra mereka berdua. Sampai suatu saat seperti laiknya pepatah mengatakan “Serapat-rapatnya bangkai disembunyikan pasti akan tercium juga bau busuknya” saat itulah Rini mendapati poto-poto tersebut. Secara tidak sengaja ia membuka Laptop Bram, dan terkejut mendapati Poto Bram dengan Sophie sebagai Wallpapernya.

“Mas, itu poto siapa di Laptop kamu?” Hardik Rini sesampainya Bram di rumah
“Poto apa?” Bram menjawab santai sambil membuka sepatu
“Poto kamu sama cewe, teman kerja kamu, aku pernah lihat dia di family gathering, kenapa kalian poto berdua??” suara Rini semakin meninggi
“Oh itu, itu Sophie” dengan santai Bram menjawab, seakan dia sudah memprediksi hal ini akan terjadi
“Terus.. maksudnya poto itu apa?!!” campuran marah dan ingin menangis tapi Rini berusaha kuat
“Rin, aku menyayangi Sophie, bolehkah aku menikahinya?” mungkin inilah yang dinamakan petir di siang bolong, suatu berita mengejutkan yang tidak pernah diharapkan

Bram yang selama ini bertanggung jawab dan sangat baik terhadap keluarga ternyata bisa melakukan hal yang sangat tidak disangka. Perasaan Rini hancur, ia bingung tidak tahu harus berbuat apa, berceraikah?? Lalu apa yang bisa ia lakukan tanpa adanya Bram di sisinya, selama ini ia hanya meminta dan semua keperluannya tercukupi. Bahkan untuk urusan anak-anak Bram lebih perhatian daripada dirinya.

Satu bulan berlalu, walaupun masih satu rumah tapi mereka bagaikan tinggal di dua tempat yang terpisah.

Suatu sore..
“Mas aku mau dipoligami jika itu kemauanmu” Rini mengaku kalah
“Terima kasih, tapi.. maaf.. Sophie tidak mau, ia mau menerima Chaca dan Andri, tapi ia tidak mau diduakan”
Ya Tuhan tidak cukupkah kesedihanku? Tidak cukupkah Sophie merebut suamiku sampai ia tega berkata seperti itu, batin Rini menangis
“Aku akan tetap menafkahi kalian, aku akan transfer tiap bulannya ke rekening kamu, aku akan antar kamu ke Jakarta ke rumah orang tua mu” Bram melanjutkan

“Hoyy bengong aje, mikirin ape lo…” Vivi membuyarkan lamunan Rini, menghentikan air matanya yang hampir saja jatuh
“Jadi menurut lo gue udahan aja sama Bembi?”
“Ya eyalaahh masa ya iya dong.. makanya lo harus banyakin teman yang oke punya biar dapat calon suami yang oke juga hehe” Vivi memang ceplas ceplos tapi sebenarnya ia baik dan perduli
“Mana ada sih cowo oke yang mau sama janda anak dua yang kerjaannya cuma sekuriti doang L” setelah Rini bercerai dari Bram ia pun mencari kerja untuk memenuhi kebutuhannya, walaupun Bram masih menepati janji untuk menafkahi tapi mau tidak mau Rini harus mempunyai penghasilan sendiri. Dengan bermodalkan ijazah SMA ia melamar pekerjaan di suatu perusahaan sekuritas, dan karena posturnya yang menunjang ia ditempatkan sebagai sekuriti di sebuah Bank.
“That’s why you have to improve your skill, lo harus kursus atau kuliah. Kalau lo mau nanya-nanya tentang komputer atau bahasa inggris, gue dengan senang hati akan membantu” Vivi berkata lagi, walaupun posisinya di Back office Bank tersebut tapi ia sangat baik kepada Rini, tidak seperti karyawan Bank lainnya yang sering memandang rendah terhadap sekuriti

Apa yang dikatakan Vivi memang benar, Rini harus berubah demi dirinya sendiri dan dua buah hatinya, ia harus berhenti meratapi nasibnya sebagai seorang istri yang terbuang, berhenti dilakukan seenak-enaknya oleh pria-pria yang hanya mencari keuntungan dari status jandanya, berhenti dari rasa nerimonya akan keterbatasan kemampuannya. Ia harus berubah, menambah wawasan, memperluas pergaulan, dan memperbaiki attitude.. agar ia menjadi orang yang lebih diperhitungkan, agar orang tidak lagi memandangnya dengan sebelah mata. Karena setiap orang berhak bahagia termasuk dirinya. Di penghujung tahun 2011 ini, di akhir bulan November yang penuh hujan ini Rini bertekad akan lebih baik lagi.. Good Bye November, thanks for teaching me many things, I hope next November isn’t November Rain for me again coz I will be a better person tulisnya di status Facebooknya

No comments:

Post a Comment

leave ur track so i can visit u back :)

Friends *ThankU ;)