Rini, sori bukannya gue mo involve
hubungan lo sama bembi, tapi sumpah deh bembi itu player!! “Nih baca sendiri sms kaleng, hari
gini masih kalengan juga, emangnya kornet” Rini menyerahkan Handphone nya
kepada Bembi “Siapa sih dia? Kirim sms ngga pake nama, jangan-jangan orang
suruhan kamu yah” cecarnya lagi sambil melihat ke arah Bembi yang sedang
membaca sms itu.
Sebenarnya
Rini sudah agak tahu kalau Bembi, seperti banyak temannya bilang bahwa dia
seorang player, tapi Rini menutup mata, yaah centil-centil dikit ngga apa-apa
deh, wajar namanya juga cowo.. begitu ia berpikir, tapi sepertinya semakin lama
semakin terbukti bahwa Bembi memang agak pecicilan.
“Ini
saatnya elo ninggalin dia rincee… ga cape-cape deh lo disakitin mulu, gue lihat
mukanya Bembi aja males, kelihatan banget playboynya” vivi sahabat barunya menasehatinya
lagi
“Iya
vi, tapi gimana ya gue sayang banget sama dia..”
“Tapi
dia ngga sayang sama elo”
“Gue
pengen banget nikah, gue pengen anak-anak gue punya ayah, setelah ayahnya pergi
meninggalkan mereka”
“Ayah
mereka masih ada, cuma bedanya kalian ngga 1 rumah lagi dan elo ga mau kan
punya suami yang tukang selingkuh lagi”
Kata-kata
Vivi membuat Rini teringat akan Bram, suami yang telah menceraikannya 1 tahun
yang lalu, suami yang berselingkuh dan lebih memilih selingkuhannya,
meninggalkan dia dan 2 orang anak mereka
“Kenapa
ya Vi hidup gue kaya begini banget” Rini berkata dengan miris
“Sabar
Rin, lo jalanin aja hidup lo apa adanya, nanti toh akan lo dapet juga hikmah
dari semua ini”
“Gue
pengen banget nikah, tapi kenapa cowo-cowo yang deketin gue koq kayaya bukan
kandidat yang baik untuk jadi suami yah Vi”
“Elo
pasti akan nemuin suami yang lebih baik dari Bram, asal lo jadi orang yang baik
dulu”
“Memang
ada laki-laki yang lebih baik dari Bram?”
“Ada”
jawab Vivi singkat tapi mantap
“Sudah
pulang mas” Rini menyambut Bram masih dalam keadaan bangun tidur sore hari
“Iya,
anak-anak ke mana?” Bram melepaskan sepatu dan meregangkan badannya, terlihat
kepenatan di wajahnya
“Tadi
sih ada, mungkin main di rumah tetangga, aku ngga masak nih kita makan di luar
saja ya”
Bram
tidak menanggapi perkataan itu, sebenarnya dia ingin sekali berkata “Ya ampun
Rin, kamu kan dirumah seharian masa sih ngga sempet untuk masak, dan lagi ini
sudah sore koq kamu membiarkan anak-anak masih main di rumah tetangga, bukannya
suruh mereka pulang, mandi, ngerjain PR kek, belajar kek, kamu tuh senangnya
shopping terus, jalan-jalan di Mall tidak kenal waktu” tetapi Bram sudah
terlalu lelah, tenaganya terkuras habis di kantor sampai-sampai tidak punya
waktu untuk menegur istrinya
Bram
dan Rini adalah salah 1 contoh pernikahan muda, Bram meminang Rini ketika Rini
baru saja lulus sekolah, Rini pun menyetujui pinangan tersebut dan menikahlah
mereka, tetapi keinginannya untuk berkuliah terpaksa tertunda dikarenakan Rini
yang langsung hamil beberapa bulan setelah pernikahan mereka. Bram dengan
senangnya meminta Rini untuk stay di rumah dan memastikan segala kebutuhan Rini
terpenuhi. Rini pun menjadi Ratu di rumahnya sendiri, dengan segala yang dia
mau tersedia. Ia tidak terbiasa mengurus rumah, semua dikerjakan pembantu
bahkan perawatan anak-anaknya pun ia delegasikan kepada baby sitter… ia merasa
semua itu adalah kompensasi dari masa mudanya yang terbuang.
Di
tahun ke enam pernikahannya karier Bram semakin meningkat, sampai suatu hari ia
dipindah tugaskan ke Dumai, Sumatera, dengan memboyong serta kedua putra putri
dan Rini, mereka mulai menetap di sana. Rini dengan berat hati harus
meninggalkan teman-teman socialitanya, hidup di pedalaman dan tanpa pembantu
pula membuat ia menjadi lebih high temper.
Ia
harus membersihkan rumah sendiri, memasak, mencuci, mengurus anak-anaknya
sendiri, ia jadi sering mengeluh dan mengomeli kedua anaknya.
“Ya
ampun Chaca kenapa tangannya?” suatu sore sepulang kerja Bram mendapati tangan
Chaca berlumurah darah
“Kena
pisau pah, tadi Chaca mau potong melon” Chaca terisak
“Maah,
mamah mana Cha, Maahh?” Bram melongok mencari Rini
“Aduuh
apaan sih pah, mamah cape tahu tadi abis nyuci, tiduran sebentar”
“Ini
lihat si Chaca tangannya berdarah begini” Bram panik lalu menggendong Chaca
yang baru berumur empat tahun itu dan membawanya ke Klinik dekat rumah
Lelah,
itulah yang ada dalam pikiran Bram tapi ia tahu Rini akan membela diri
seandainya ia membahas semua masalah rumah tangga mereka.. Ia hanya bercerita
kepada Sophie, teman sekantornya yang tanpa ia sadari menaruh hati kepadanya.
Ia menceritakan semua hal yang kurang disukainya dari istrinya.
“Ada
baiknya kamu membicarakan semua itu dengan Rini, komunikasi itu sangat penting
apalagi dalam pernikahan. Sudah yah jangan dipikirkan, kamu kan harus
menyiapkan tender untuk besok, jangan sampai Pak Bambang marah gara-gara kamu
ngga well prepare” Sophie yang nada bicaranya lembut, perhatian, cantik dan
pintar selalu menemani dan bersedia menjadi tempat curhat Bram
Kebersamaan
mereka pun semakin intim dan intens, tanpa terasa mereka menjadi lebih dekat
daripada dua orang sahabat, mereka meluangkan waktu bersama jika jam kantor
telah usai.. Mereka tertawa ringan membahas kelakuan orang-oang kantor yang
suka ajaib tingkahnya.
“Phie,
nonton yuk, sudah lama nih ngga nonton di Bioskop”
“Ngga
mau ngajak Rini dan anak-anak?” Sophie bertanya sopan walaupun hatinya gembira
mendengar ajakan tersebut
“Rini
ngga suka nonton, dia lebih suka shopping”
Dan
malam itu menjadi awal hubungan mereka yang baru.
Tiga
bulan telah berlalu, Bram merasa hidupnya lebih bahagia setelah hubungannya
dengan Sophie. Ia merasa Sophie adalah energynya yang baru, bukan Rini atau
anak-anaknya lagi.
Ketika
hari libur sering ia menyendiri di ruang kerjanya di rumah hanya untuk sekedar
memandangi poto-poto mesra mereka berdua. Sampai suatu saat seperti laiknya
pepatah mengatakan “Serapat-rapatnya bangkai disembunyikan pasti akan tercium
juga bau busuknya” saat itulah Rini mendapati poto-poto tersebut. Secara tidak
sengaja ia membuka Laptop Bram, dan terkejut mendapati Poto Bram dengan Sophie
sebagai Wallpapernya.
“Mas,
itu poto siapa di Laptop kamu?” Hardik Rini sesampainya Bram di rumah
“Poto
apa?” Bram menjawab santai sambil membuka sepatu
“Poto
kamu sama cewe, teman kerja kamu, aku pernah lihat dia di family gathering,
kenapa kalian poto berdua??” suara Rini semakin meninggi
“Oh
itu, itu Sophie” dengan santai Bram menjawab, seakan dia sudah memprediksi hal
ini akan terjadi
“Terus..
maksudnya poto itu apa?!!” campuran marah dan ingin menangis tapi Rini berusaha
kuat
“Rin,
aku menyayangi Sophie, bolehkah aku menikahinya?” mungkin inilah yang dinamakan
petir di siang bolong, suatu berita mengejutkan yang tidak pernah diharapkan
Bram
yang selama ini bertanggung jawab dan sangat baik terhadap keluarga ternyata
bisa melakukan hal yang sangat tidak disangka. Perasaan Rini hancur, ia bingung
tidak tahu harus berbuat apa, berceraikah?? Lalu apa yang bisa ia lakukan tanpa
adanya Bram di sisinya, selama ini ia hanya meminta dan semua keperluannya
tercukupi. Bahkan untuk urusan anak-anak Bram lebih perhatian daripada dirinya.
Satu
bulan berlalu, walaupun masih satu rumah tapi mereka bagaikan tinggal di dua
tempat yang terpisah.
Suatu
sore..
“Mas
aku mau dipoligami jika itu kemauanmu” Rini mengaku kalah
“Terima
kasih, tapi.. maaf.. Sophie tidak mau, ia mau menerima Chaca dan Andri, tapi ia
tidak mau diduakan”
Ya
Tuhan tidak cukupkah kesedihanku? Tidak cukupkah Sophie merebut suamiku sampai
ia tega berkata seperti itu, batin Rini menangis
“Aku
akan tetap menafkahi kalian, aku akan transfer tiap bulannya ke rekening kamu,
aku akan antar kamu ke Jakarta ke rumah orang tua mu” Bram melanjutkan
“Hoyy
bengong aje, mikirin ape lo…” Vivi membuyarkan lamunan Rini, menghentikan air
matanya yang hampir saja jatuh
“Jadi
menurut lo gue udahan aja sama Bembi?”
“Ya
eyalaahh masa ya iya dong.. makanya lo harus banyakin teman yang oke punya biar
dapat calon suami yang oke juga hehe” Vivi memang ceplas ceplos tapi sebenarnya
ia baik dan perduli
“Mana
ada sih cowo oke yang mau sama janda anak dua yang kerjaannya cuma sekuriti
doang L”
setelah Rini bercerai dari Bram ia pun mencari kerja untuk memenuhi
kebutuhannya, walaupun Bram masih menepati janji untuk menafkahi tapi mau tidak
mau Rini harus mempunyai penghasilan sendiri. Dengan bermodalkan ijazah SMA ia
melamar pekerjaan di suatu perusahaan sekuritas, dan karena posturnya yang
menunjang ia ditempatkan sebagai sekuriti di sebuah Bank.
“That’s
why you have to improve your skill, lo harus kursus atau kuliah. Kalau lo mau
nanya-nanya tentang komputer atau bahasa inggris, gue dengan senang hati akan
membantu” Vivi berkata lagi, walaupun posisinya di Back office Bank tersebut
tapi ia sangat baik kepada Rini, tidak seperti karyawan Bank lainnya yang
sering memandang rendah terhadap sekuriti
Apa
yang dikatakan Vivi memang benar, Rini harus berubah demi dirinya sendiri dan
dua buah hatinya, ia harus berhenti meratapi nasibnya sebagai seorang istri
yang terbuang, berhenti dilakukan seenak-enaknya oleh pria-pria yang hanya
mencari keuntungan dari status jandanya, berhenti dari rasa nerimonya akan keterbatasan
kemampuannya. Ia harus berubah, menambah wawasan, memperluas pergaulan, dan
memperbaiki attitude.. agar ia menjadi orang yang lebih diperhitungkan, agar
orang tidak lagi memandangnya dengan sebelah mata. Karena setiap orang berhak
bahagia termasuk dirinya. Di penghujung tahun 2011 ini, di akhir bulan November
yang penuh hujan ini Rini bertekad akan lebih baik lagi.. Good Bye November, thanks for teaching me many things, I hope next
November isn’t November Rain for me again coz I will be a better person
tulisnya di status Facebooknya
No comments:
Post a Comment
leave ur track so i can visit u back :)