Ya Tuhan, berikanlah aku roti hari ini, roti itu
Tuhan. Dari jauh Denis menatap ke arah roti-roti yang baru saja diletakkan di
etalase toko. Pelayan yang melakukannya sempat memandang ke luar jendela,
melihat Denis, tapi hanya sekilas saja karena
setelah itu ia sibuk menata roti yang masih panas di pinggan-pinggan kaca dalam
etalase.
"Nis, ayo." Teguran Firman membuyarkan lamunan Denis, rasa lezat
yang seolah sedang ia kecap tiba-tiba sirna. Mereka kembali berjalan,
menyusuri trotoar.
"Kak, hari ini kita jualan dimana?" Tanyanya sambil
terus menenteng tas besar. Tangannya sudah mulai sakit karena beban yang
ditimbulkan dari tas itu.
"Di depan sana sedang ada pasar pagi Nis, kita
nge-gelar di situ saja." Jawab Firman yang juga menenteng sebuah tas yang tak kalah besar.
Semoga hari ini laku banyak, biar aku bisa beli roti. Spontan wajah Denis menoleh ke toko tadi, rasa lezat kembali
menyapa lidahnya, turun menuju tenggorokan dan berakhir dengan perut
yang berbunyi.
"Kamu lapar?" Firman menghentikan langkah, suara perut
Denis terdengar olehnya.
Denis mengangguk, roti itu
benar-benar memenuhi pikirannya.
"Duh Denis kenapa nggak bilang? Kan bisa makan di rumah. Eemm... Tunggu sebentar ya." Firman melihat sekitar
lalu berlari ke arah warung kecil yang terletak di lorong di antara
toko-toko, tidak lama ia kembali dan menyodorkan sesuatu kepada Denis, "Nih,
pegang saja dulu, dimakannya nanti kalau kita sudah sampai pasar pagi
ya. Yuk cepat."
Denis menerima kantong plastik itu, membukanya sebentar
lalu menyusul langkah kakaknya. Aku nggak mau roti ini kak, aku maunya
yang... Hhh.
☼☼☼
Sesampainya di pasar pagi, Denis membantu Firman menggelar barang
dagangan mereka, hari libur seperti ini lebih dimanfaatkan oleh
pedagang kaki lima untuk menjual beraneka barang, dengan harapan orang-orang yang
sedang berolahraga atau hanya sekedar menikmati udara pagi, sudi
melihat-lihat yang mereka jajakan dan akhirnya tertarik untuk membeli.
"Kak, aku ke sana dulu ya." Tidak jauh dari tempatnya menggelar
dagangan, dilihatnya seseorang yang sedang menerbangkan pesawat. Penjual
lain yang mendemokan barang dagangannya.
"Iya, tapi jangan jauh-jauh ya
Nis."
"Iya Kaak." Denis berlari, roti di tangannya digenggam kuat-kuat
agar tidak terjatuh. Tapi kemudian larinya terhenti, ia menoleh ke bawah
pohon dan melihat seorang anak laki-laki sebayanya yang sedang merintih
kesakitan.
"Aduuhh, perutkuu.... "
Denis mendekat. "Kamu kenapa?"
"Perutku sakiitt. Aduuhh."
"Sakit kenapa?" Tanyanya lagi.
"Aku belum
makan, sudah dua hari." Anak itu meremas perutnya, bulir-bulir air mata
turun dari matanya yang tertutup.
Tampak Denis berpikir sebentar,
matanya bergantian memandang anak itu dan roti di tangannya, "Nih untuk
kamu," Ia menyodorkan roti tapi kemudian ia tarik kembali, "Tapi aku minta
sedikit ya, aku juga lapar." Ia tersenyum lebar, memamerkan gigi putihnya yang
tersusun rapi.
Anak itu membuka mata, memperhatikan Denis yang membuka
bungkus roti, memotong sedikit dan menyerahkan sisanya kepadanya.
"Nih
ambil."
Ia menerima uluran tangan Denis dan segera saja melahap roti itu."Makasih."
Denis tersenyum, "Oh iya, ini ada uang, bisa untuk beli
minum." Ia merogoh kantong celana lalu menyerahkan dua lembar uang
seribu rupiah yang diberikan ayahnya sebelum mereka pergi.
"Sudah dulu ya aku mau melihat pesawat." Denis meninggalkan bocah itu,
yang masih tidak percaya dengan sikapnya.
☼☼☼
"Alhamdulillah Nis, hari ini kita laku banyak." Langkah mereka sore itu
lebih riang, tas di tangan Denis pun lebih ringan daripada tadi pagi. "Oh
iya, kita mampir dulu yuk ke situ." Denis
terkejut mendengar kata-kata Firman. "Kenapa Nis?"
"Ke toko itu Kak?"
"Iya, maukan?"
Denis tidak menjawab, ia hanya tersenyum, bola matanya
berbinar.
Humm tentu saja kamu mau karena itu harapanmu beberapa hari
ini, maafin kakak ya Nis karena baru bisa membelikannya sekarang. Kamu
hebat Nis, apalagi sikapmu tadi pagi. Firman merangkul adiknya,
menuntunnya memasuki toko roti dan membiarkan Denis berlama-lama memilih roti
yang diinginkannya.