18.3.16

Resensi dan Sinopsis Supernova : Inteligensi Embun Pagi (plus bonus sinopsis mulai dari Kesatria, Putri dan Bintang jatuh)



Ketika serial buku sudah tamat, ada kelegaan sekaligus sesuatu yang hilang. Begitu yang saya rasakan setiap kali membaca novel berseri. Salah satunya serial Supernova ini. Novel karangan Dee Lestari sudah menemani pecinta buku dalam kurun waktu 15 tahun. Hmm... waktu yang lumayan lama kan? Rentang waktu antara satu buku dengan buku lain bagaikan menunggu bisul pecah!

Walaupun serial ini tidak saya beli sendiri (thank's to Z yang sudah mau meminjamkannya dua kali) tapi saya terbawa euforia para pembaca lainnya. Dan ketika edisi terakhir tiba saya langsung membacanya, hmm... tiga hari mungkin waktu yang lama kalau dibandingkan pembaca lain, tapi... menurut saya sudah lumayan lah untuk menghabiskan novel setebal 705 halaman ini.

Dan sebagai penikmat boleh dong saya meresensi sedikit Supernova ke-6 Dee yang berjudul Inteligensi Embun Pagi.

Ehem... Eeeh sebelum mengulas si bungsu saya mau kasih saran nih, bagi yang minat baca buku ini sebaiknyaa mulai dulu deh dari yang pertama which is Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh. Karenaa kalau ingatanmu nggak refresh kamu bakalan kebingungan dengan cerita di dalam si bungsu, yaah buku ini memang sangat saling berkaitan dengan kakak-kakaknya. 

COVER 
Si bungsu dengan cover berwarna putih ini berbeda dengan kakak-kakaknya si hitam yang misterius, tapi judul si bungsu tidak mengurangi esensi dari kemisteriusan Supernova sendiri. 

BAB PEMBUKA
Lembaran pertama Inteligensi Embun Pagi dimulai dengan Gio yang masih mencari Diva, namun Gio malah terhenyak dengan informasi lain. Fakta-fakta pun mulai bergulir, keterkaitan semakin menguat di setiap lembarannya. Terkadang saya harus membuka novel-novel sebelumnya untuk kemudian mengangguk lalu ber-Oooh ria. 

BENANG MERAH
Kuncinya adalah atensi, kamu perlu fokus bahkan dalam membaca serial ini karena benang merah menjadi salah satu kekuatan Dee dalam menggali imajinasinya. Nih ya saya buat list benang merah para tokohnya :

1. Diva adalah Bintang Jatuh, yang melahirkan Supernova di dunia maya. 
2. Lima Peretas Kunci, yang tidak perlu saya jelaskan kamu pasti sudah tahu mereka itu siapa saja.
3. Gugus Kandara yang akhirnya hancur karena blunder Bintang Jatuh, beranggotakan Firas sebagai Murai, Toni sebagai Foniks, Bong dan dua anggota lain yang tidak diketahui keberadaannya.
4. Ibu Sati, Ompu Togu dan Simon Hardiman adalah Sarvara.
5. Infiltran-infiltran dengan karakter masing-masing.
6. Chaska, Nai Gomgom dan Paul yang ternyata adalah Umbra.
7. Firas merupakan anak dari Simon Hardiman.
8. Alfa adalah Anshargal dan Ishtar adalah Omega.

AWAL MULA 
Aksi kejar-kejaran Peretas-Infiltran-Sarvara ini dimulai ketika Anshargal bersekutu dengan Infiltran untuk membuka kesadaran manusia. Pengejaran yang terus berlangsung di setiap mileniumnya, dengan Ishtar sebagai sosok perempuan yang seharusnya menjadi takdir cinta untuk Anshargal tetapi cinta mereka harus kandas karena Anshargal berbalik haluan.

SAYA TERINGAT
Ada bagian yang mengingatkan saya dengan serial Harry Potter, yaitu ketika beberapa Sarvara turun ke Dolok Simaung-maung, atau bagian ketika mereka bercerita bahwa mereka sudah hidup dan mati berkali-kali yang mengingatkan saya dengan film Edge Of Tomorrow dengan Tom Cruise sebagai pemeran utamanya, atau bagian Portal atau Crop Circle... Well kemiripin cerita memang bisa saja terjadi tapi novel ini tetap Outstanding.

BAGIAN AKHIR
Akhirnya Epik tapi untuk pembaca yang kurang suka dengan cerita yang menggantung pasti agak gereget dengan endingnya. Tidak seperti Firas yang akhirnya ditemukan dalam keadaan meninggal dunia setelah 12 tahun berada di Sunyavima, Diva, sang Supernova yang dicari-cari dari mulai buku ke-2 tetap tidak ketahuan di mana rimbanya walaupun Gio melihat Diva berada di suatu tempat yang bukan seperti Bumi melainkan seperti di alam mimpi tapi rasanya... ada yang kurang gituh hehe. Daan buku setebal itu pun masih menyisakan misteri tentang apakah mereka berhasil dalam misi mereka? Karena setelah awal proses di Dolok Simaung-maung mereka semua tetap harus bersembunyi dari Sarvara sampai Peretas Puncak dilahirkan dan menyelesaikan misi mereka. Aaahh... it's a kind of another mistery that you should create your own imagination.

Last but not least... Bravo for Dee.

Dan sebagai bonusnya saya berikan kamu Sinopsis dari mulai Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh sampai Inteligensi Embun Pagi... Selamat membacaa...

xoxo



14.3.16

Namanya Gemblong

Dengan berjingkat Sabil memasuki rumah lewat pintu samping, tas ranselnya menggembung dan bergerak-gerak. 

“Ssttt... diam doong nanti bisa ketahuan sama Mimi.” Katanya berbisik entah kepada siapa.

“Eeehh Sabil sudah pulang. Kok tidak lewat pintu depan Bil?” Pertanyaan itu disikapi dengan lemas oleh Sabil. Percuma ia mengendap-endap kalau toh Mbok Lisin berkata dengan lantang sampai Mimi yang sedang meniduri Syifa di ruang keluarga mendengar dan langsung menghampirinya.

“Assalamu’alaikum Sabil.”

“Wa’alaikumsalam Mi.” Seketika Sabil berdiri tegak, buku-buku di tangannya mendapat perhatian dari Mimi.

“Kenapa buku-bukumu tidak dimasukkan ke dalam tas? Apa tidak muat?”

“Iya Mi... tadi di perpustakaan aku meminjam banyak buku, jadi....” Katanya sambil berjalan menyamping agar Mimi tidak melihat tas ranselnya, “sebagian aku tenteng. Masuk kamar dulu ya Mii....” Ia berjalan mundur menuju kamarnya. Meninggalkan Mimi dengan dahi berkerut. Beberapa detik kemudian terdengar tangisan Syifa. 

“Fiuh... Untung Syifa menangis kalau tidak Mimi pasti sudah menyusul kita ke kamar.” Kata Sabil tersenyum lega. “Kamu sih pakai bergerak-gerak, tidak betah ya di dalam?” Ia menutup pintu kamar, duduk di lantai dan membuka resleting tas ranselnya.

“Meoong.” Seekor anak kucing melompat keluar, langsung berlari ke bawah ranjang.

“Hei jangan takut, aku kan sudah menolongmu. Keluar sini... puuss... meong.” Katanya sambil menjentikkan jari yang sama sekali tidak mengeluarkan bunyi. “Puuss....” Ia merebahkan badan, merangkak ke bawah ranjang lalu mengulurkan tangan untuk menggapai si anak kucing.

“Sabil.” Suara Mimi terdengar dekat.

“Iya Mi.” Sabil tidak ingin Mimi tahu mengenai anak kucing itu jadi ia merangkak keluar tapi naas kepalanya terbentur tepi ranjang. “Aww.” Otomatis tangannya memijat kepala yang sakit. 

“Kenapa Bil?” Mimi sudah membuka pintu kamarnya.

“Tidak apa-apa Mi.”

“Kok belum mengganti baju? Kita makan sama-sama ya.”

“Okee Mimi tunggu di meja makan saja yaa.” Kata Sabil cemas, ia tidak ingin si anak kucing berlari keluar kamar.

“Oke?” Mimi kembali mengernyitkan dahi. Mimi dan Abi kadang sering memprotes kata-kata yang mereka anggap kurang pantas untuk digunakan.

“Eh maksudnya iya Mimi. Sabil mengganti baju dulu ya.” 

Mimi tersenyum lalu meninggalkannya, cepat-cepat ia menutup pintu dan bergegas mengganti seragam sekolah dengan kaos. “Hei kamu di sini saja ya, aku mau makan dulu.” 

Sabil makan dengan terburu-buru, ia ingin segera kembali ke kamar. Bermain dengan si anak kucing, tepatnya mengobati telinga anak kucing yang berdarah karena berkelahi dengan kucing besar. 

“Gemblong!”

“Kenapa Bil?”

“Eh tidak Mi.”

“Tadi Sabil bilang gemblong, Sabil mau makan gemblong?”

Sabil menggeleng, tadi terbersit kata-kata gemblong di pikirannya. “Memang gemblong makanan ya Mi?”

“Sabil belum pernah makan gemblong?” Mimi jadi merasa bersalah, selama ini ia jarang memberikan anak-anaknya kue tradisional Indonesia. Abi Sabil seorang chef di restoran Timur Tengah lebih sering membawakan makanan khas negara minyak itu. “Insyaa Allah besok Mimi buatkan ya. Gemblong itu kue yang terbuat dari tepung ketan putih, kelapa, santan dan gula merah.”

“Sepertinya enak.” Sabil tidak menyangka kalau Gemblong adalah nama makanan, ia memang pernah mendengar kata-kata itu tapi dari televisi ketika si pembawa acara memanggil temannya dengan julukan ‘dasar gemblong.’ Dan Sabil memilih kata-kata itu untuk...

“Mi, Sabil ke kamar ya.” Sabil membawa piring bekas makannya ke wastafel. Meninggalkannya di sana dan berlari kecil. Berharap Mimi tidak melihat tangannya yang mengepalkan ayam goreng.

“Gemblong... Lihat aku punya apa untukmu.” Tadi Sabil sengaja memilih potongan ayam goreng yang paling besar namun hanya sedikit memakannya.

Si anak kucing yang mencium bau daging ayam perlahan keluar dari bawah ranjang. Darah di telinganya sudah mengering dan dengan lahap ia memakan potongan ayam itu tetapi menghindar ketika Sabil ingin mengelusnya, sambil menggigit ayam goreng Gemblong berlari ke bawah ranjang. Makan di sana sampai ayam habis tak tersisa.

~o~

Kebiasaan Sabil sebelum tidur adalah meminum susu hangat yang dicampur dengan madu. Kali ini ia minta dibuatkan dalam gelas besar yang permintaan itu membuat Mbok Lisin ingin bertanya, untunglah Abi keburu memanggil si Mbok. Lagi-lagi Sabil merasa diselamatkan. 

Setelah menuang susu ke piring kecil ia kembali memanggil Gemblong tapi panggilannya itu diacuhkan. Gemblong hanya melihatnya sebentar lalu kembali merebahkan badan walaupun telinganya bergerak-gerak mendengar kata-kata Sabil. Hal itu membuat Sabil sedih, padahal ia ingin bermain dengan Gemblong bahkan membersihkan luka Gemblong. Sabil tidak menyangka kalau ternyata seekor kucing itu bisa sangat acuh.

“Ya sudah kalau tidak mau main denganku, selamat malam Gemblong jelek!” Katanya kesal.
Sabil menarik selimut tepat ketika Abi memasuki kamarnya.

“Sudah mau tidur ya.”

“Iya Bi.”

“Kita kan belum mengobrol. Bagaimana sekolah hari ini? 

“Baik.” Bukannya Sabil tidak senang berbincang dengan Abi, ia hanya khawatir kalau Gemblong menampakkan diri. “Tadi di sekolah diajari main kasti.”

“Terus Sabil bisa memainkannya?”

Sabil mengangguk, “bisa tapi susah. Capek.”

Abi tertawa mendengar Sabil. “Ya sudah kalau Sabil capek. Selamat tidur ya, jangan lupa membaca doa tidur, ayat kursi dan...”

“Membaca surat Al Ikhlas, An Naas, Al Falaq.”

Abi mengelus rambut Sabil, mencium keningnya kemudian meninggalkan Sabil. Abi tidak tahu kalau Sabil tidak pernah selesai membaca tiga surat pendek itu karena ia sudah keburu terlelap, dibuai mimpi seperti halnya malam ini ketika dalam mimpinya Gemblong memejamkan mata menikmati belaian Sabil. Sesekali buntut Gemblong digerak-gerakkan memukul lantai, kali lain Gemblong menengadah ketika Sabil mengelus-elus lehernya. Gembong pun diam saja kala Sabil menggendongnya sampai terdengar suara...

“Sabil, bangun sayang. Sebentar lagi subuh.” Senyuman Mimi selalu yang pertama dilihat Sabil dan senyuman Abi menjadi yang terakhir di setiap harinya, tapi Sabil tidak pernah bosan.

“Plaakk.”

“Aduh Syifaa.” Kecuali tamparan adiknya yang berusia tiga tahun. “Sakit tahuu.” Sabil bosan namun Syifa selalu tertawa mendengar Sabil yang marah-marah. 

“Syifa shalehah jangan begitu sama kak Sabil. Sabil ayo bangun, ditunggu Abi tuh mau ke mushala.” 

Dan rutinitas hari ini dimulai dengan Sabil lupa akan Gemblong.

~o~

Seharian itu Sabil benar-benar melupakan Gemblong. Sesampainya di sekolah Sabil sudah sibuk dengan pelajaran di kelas dua sekolah dasar, tugas prakarya, hafalan surat pendek, olahraga juga latihan tari Saman untuk lomba antar sekolah. Ia pulang ke rumah ketika sudah sore, mengantuk dan lelah tapi Mimi menyambutnya tanpa senyum.

Setelah mengucapkan salam, melepas sepatu di teras Sabil melangkah masuk namun Mimi menghalangi pintu.

“Duduk dulu Bil, minum nih Sabil pasti haus kan.” Kata Mimi sambil menyodorkan segelas jus tomas yang langsung diteguk. “Duduk dong minumnya Bil.” 

Sabil duduk masih dengan ujung gelas di bibirnya dan kembali melanjutkan minum. Jus tomat memang kesukaannya. Hanya tomat dan gula tanpa susu.

“Bagaimana hafalan suratnya? Lancar?”

“Alhamdulillah, untung kemarin Mimi membantu aku.”

Mimi mengangguk, “Latihan tari samannya?”

“Sudah bisa dong Mi.” Kata Sabil bangga.

“Syukur Alhamdulillah kalau begitu. Eeee... ada yang mau Sabil ceritakan ke Mimi?”

Sabil diam, bingung apa maksud Mimi karena selama ini ia selalu menceritakan kegiatan di sekolahnya, bahkan meminta bantuan Mimi dan Abi agar tugas-tugas sekolah mendapat nilai yang baik.

“Kemarin pulang sekolah ada kejadian apa?” Tanya Mimi lagi.

“Tidak ada apa-apa.”

“Benar? Sabil tidak berbohong?”

Sabil menggeleng, saat ini ia mengantuk dan sangat ingin merebahkan diri.

“Hhhh...” Mimi menghela nafas, “Sabil mengecewakan Mimi.” Katanya sembari meninggalkan Sabil yang lagi-lagi tidak mengerti maksudnya.

Sambil bertanya-tanya dalam hati Sabil melangkah memasuki rumah, langsung menuju kamarnya tapi ia terkejut ketika membuka pintu kamar demi melihat Gemblong sedang berada di atas kasur sambil menjilati badannya.

“Masih tidak mau bercerita?” Mimi berdiri di belakangnya.

“Gemblong...,” ada bau tidak sedap yang menguar. “Kemarin Sabil menemukan Gemblong. Jadi setelah Sabil turun dari mobil jemputan ada kucing yang berkelahi. Satunya kucing besar yang satunya Gemblong, terus Sabil lerai. Gemblong Sabil bawa pulang karena dia terluka.” Ia sudah tidak dapat menyembunyikan Gemblong yang saat ini sedang menatapnya dengan wajah polos. Mata Gemblong bulat penuh di wajah yang tertutup bulu berwarna coklat dengan bintik-bintik kuning.

“Kenapa Sabil tidak bercerita ke Mimi?”

Sabil diam.

“Ya sudah Sabil mandi dulu sana.” Suara Mimi melunak demi dilihatnya wajah Sabil yang lelah.

Ketika selesai mandi kamar Sabil sudah rapi, sprei yang diacak-acak Gemblong sudah diganti, tumpukan bantal di pojok kamar yang dikencingi Gemblong juga sudah tidak ada dan kamarnya pun sudah wangi lagi. Tapi Sabil belum lepas dari interogasi Mimi. Di halaman belakang dengan ditingkahi semilir angin sore Sabil duduk menunduk di samping Mimi.

“Sabil membohongi Mimi. Tadi waktu Mimi tanya ada kejadian apa kemarin Sabil bilang tidak ada apa-apa. Kemarin juga waktu pulang sekolah Sabil bilang tas nya penuh dengan buku-buku pinjaman perpustakaan padahal tas itu berisi Gemblong kan?” Suara Mimi sehalus biasanya tapi ada nada tegas di situ. “Kenapa Sabil tidak langsung menceritakan tentang Gemblong?”

Ia diam sebentar, “Sabil takut Mimi melarang Gemblong berada di rumah ini. Kasihan dia masih kecil jadi kalah waktu diajak berantem sama kucing besar. Sabil ingin membersihkan lukanya.”

“Luka di telinganya?” Mimi pun melihat ada noda merah mengering di telinga Gemblong yang kini sedang berlari-lari di halaman rumput, sepertinya ia senang karena akhirnya bisa keluar dari kamar.

“Iya. Maaf ya Mimi kalau Sabil sudah berbohong.”

Mimi diam saja, “Lukanya masih ada tuh.” Kata Mimi mengalihkan pembicaraan.

“Gemblong tidak mau dipegang.” Wajah Sabil berubah dari takut menjadi kecewa, Mimi dapat membaca hal itu.

“Sabil harus dihukum karena sudah berbohong. Sabil kan tahu kalau berbohong itu tidak boleh dan tidak baik!”

Wajah Sabil kembali berubah, “Dihukum apa Mi?” Katanya takut.

“Nanti kita tunggu Abi pulang ya.” Mimi berkata sambil menyusul Syifa yang berlari kecil menuju Gemblong.

~o~

Untungnya hari ini hari Jum’at jadi besok libur yang artinya Sabil tidak harus bersegera menyelesaikan tugas sekolah karena Sabil sedang tidak berkonsentrasi. Ia menunggu panggilan dari Abi dan Mimi yang kini sedang berada di kamar, mungkin sedang merundingkan hukuman apa yang pantas diberikan untuk Sabil. Dari jendela kamar ia melihat Gemblong yang tertidur di teras belakang. Kata Mimi untuk sementara Gemblong berada di halaman belakang saja.

“Bil.” Abi memanggil sembari membuka pintu kamar. “Mimi sudah bercerita mengenai Gemblong,” Abi melangkah dan duduk di tepi ranjang. “Jadi... Sabil tidak menceritakan mengenai Gemblong karena takut?”

“Iya Bi. Sabil takut dilarang memelihara Gemblong. Maaf ya Bi.” 

“Loh Sabil ingin memeliharanya? Abi kira hanya ingin menolong setelah itu dilepaskan lagi.”

Sabil diam, matanya mengerjap-ngerjap dan bibirnya digigit, sikap khas Sabil ketika ia merasa kikuk atau bingung.

“Kalau Sabil mau memelihara Gemblong tentu saja Abi dan Mimi mengizinkan.”

“Betul Bi?” Ia mendekati Abi.

“Tentu saja.”

“Boleh?” Tanyanya masih tak percaya, membuat Abi tertawa.

“Kenapa tidak? Sabil tahu tidak kalau Rasulullah sangat menyayangi kucing, memberinya makan membiarkan kucing tidur di pakaian Rasulullah bahkan Rasulullah membenci orang yang berbuat jahat pada kucing. Bukan kucing saja sih tapi semua hewan di dunia ini. Sabil pernah mendengar nama Abu Hurairah kan?”

Sabil mengangguk.

“Abu Hurairah adalah salah satu sahabat Rasulullah yang saaangat menyayangi kucing makanya mendapat julukan ‘bapaknya kucing.’”

Mata Sabil tampak berbinar, ia memang selalu suka mendengar cerita mengenai Rasulullah dan para sahabatnya apalagi ditambah dengan dibolehkan memelihara Gemblong.  

“Yeaayy terima kasih Abi.” 

Hampir saja ia memeluk Abi tapi Abi keburu berkata, “eits jangan senang dulu. Sabil kan masih harus dihukum karena berbohong.”

“Ooohh....” Katanya lesu.

“Kenapa? Tidak mau dihukum?”

“Mma-au kok.” Sabil paham betul kalau ia telah berbuat salah. Kata Pak guru di sekolah kalau kita berbuat salah harus siap untuk dihukum karena apa pun perbuatan kita pasti ada ganjarannya. “Memang hukumannya apa Bi?”

“Hmm... Abi dan Mimi sudah sepakat untuk memotong uang saku Sabil.”

“Haaahh???”

“Untuk membeli keperluan Gemblong. Kita harus menyiapkan kasur untuk Gemblong kasihan kan dia kalau tidur di lantai nanti kedinginan.” Abi tersenyum jahil dan senyumnya semakin lebar ketika melihat Sabil menggaruk kepalanya. “Setuju?”

“Iya deh.” Kata Sabil pasrah. “Tapi...”

“Kenapa?”

“Gemblong tidak mau dipegang.” Katanya cemberut.

“Gemblong kan baru bertemu Sabil kemarin jadi dia perlu waktu untuk menyesuaikan diri. Nanti lama-lama juga Gemblong yang mendekati Sabil untuk minta dielus.”

“Masa sih Bi?”

Abi mengangguk, ia mendekat lalu memeluk Sabil. Membuat Sabil merasa sangat nyaman.

“Ada yang mau kue?” Mimi memasuki kamar dengan membawa sepiring kue.

“Mauuu... apa ini Mi?” Sabil mengambil sepotong kue berbentuk bulat dengan tekstur agak keras dan berlumur gula merah. Manis dan masih hangat.

“Ini buatan Mbok Lisin. Namanya... kue gemblong.”

“Oooo iniiiii.”

Seruan Sabil ditingkahi tawa oleh Abi dan Mimi. Mereka saling pandang, senang karena buah hatinya dapat berempati dan menyayangi binatang. Sabil pun memandang kedua orang tuanya, senang karena memiliki mereka yang menyayangi dan mengajarkannya kebaikan.

oOo

Friends *ThankU ;)