29.2.16

Pohon Mangga Afri

Afri merinding setiap melewati pohon mangga itu, padahal dalam sehari ia harus melewatinya beberapa kali. “Kalau pagi sampai sore sih tidak terlalu takut tapi kalau sudah malam... hiiyyy ngerii. Masa sih aku harus terkurung dalam rumah, tidak main bersama teman-temanku di luar sana hanya gara-gara ada... duuh menyebutnya saja aku takut!” Katanya dalam hati.

“Afriiii... Afriii...”

“Iyaa.” Tuh kan teman-temanku sudah memanggil.

“Afriii... ayo dong keluar, kita mau bermain galasin. Kamu mau ikut tidak siihh?”
Huuh ya mau lah, galasin kan permainan kesukaanku. “Mauu tunggu sebentar yaa.” Perlahan ia membuka pintu rumah, mengambil ancang-ancang kemudian berlari kencang sambil mengucap basmalah. Dengan sembrono ia membuka pintu pagar sampai menimbulkan bunyi berisik.

“Kamu kenapa?”

“Iya, kamu kenapa? kok berlari seperti itu?” Amran mengulang pertanyaan Yuda.

Namun Afri justru berkata, “ayo kita main nanti keburu malam.” Ia berjalan meninggalkan Amran, Yuda, Thomas dan beberapa anak lain. Tidak mau cerita ah nanti mereka malah menertawakanku. Sekilas ia melirik ke arah pohon mangga besar yang menyembul dari tembok rumahnya dan kembali bergidik.

~o~

Keesokan malam hal yang sama terjadi lagi, Afri takut ke luar rumah namun panggilan teman-temannya sangat menggoda, kali ini mereka berencana pergi ke pasar malam. Ia sudah mengantongi beberapa lembar uang sisa jajannya tadi siang, bianglala sudah terbayang di pelupuk mata tapi bayangan putih di salah satu dahan pohon mangga juga membayang.

“Afri, ditunggu tuh sama yang lain. Katanya kalian mau ke pasar malam ya?” Mita baru saja pulang dari kampus. Tadi di depan pagar ia bertemu teman-teman Afri.

“Iya.” Jawab Afri bimbang.

“Sudah bilang sama Ibu dan Ayah?”

“Belum.”

“Loh bagaimana sih, ya sudah nanti kakak saja yang memberitahu mereka, sana berangkat kasihan teman-teman kamu menunggu.” Sedetik kemudian memang Amran, Yuda dan yang lain memanggil Afri. Dan Afri kembali mengumpulkan tekadnya, membaca ayat kursi, membuka pintu rumah lalu berlari kencang menuju pagar. Mita terheran-heran melihatnya.

“Kamu kenapa sih dari kemarin?” Sama seperti teman-teman Afri.

“Ayo pergi sekarang.” Dan sikap Afri pun juga sama seperti kemarin.

~o~

Ternyata pasar malam lebih ramai dari yang mereka bayangkan, selain bianglala ada juga komedi putar dan kora-kora. Berbagai mainan anak dijajakan sepanjang jalan begitu pula dengan baju, celana, sandal dan aneka makanan. Untungnya Bang Ridwan kakak Amran ikut menemani.

“Mau main apa dulu yaa...” Kata Thomas bingung.

“Aku mau naik bianglala.” Afri masih konsisten dengan keinginannya.

“Perosotan.” Kinaya menunjuk ke arah perosotan yang terbuat dari balon. 

“Mau beli itu.” Hasni menunjuk ke gulali kapas warna warni dalam plastik.

“Kalau aku maunya yang itu.” Ratna lain lagi, ia mengarahkan pandangannya ke bakso cilok yang ramai pembeli.

“Hmm....” Dan bang Ridwan harus pintar-pintar mengambil keputusan agar anak-anak ini tidak terpisah. “Bagaimana kalau kita membeli makanan dulu baru setelah itu naik bianglala.”

“Perosotan?” Tanya Kinaya.

“Setelah naik bianglala kita semua bermain perosotan.”

“Tidak mau main perosotan itu kan permainan anak cewek. Mau main kora-kora saja.” Protes Amran diiyakan oleh Thomas, Yuda dan Afri. 

Akhirnya setelah menimbang-nimbang sebentar bang Ridwan membolehkan anak perempuan bermain perosotan sedangkan anak laki-laki bermain kora-kora. Untunglah kedua permainan itu berada berhadapan sehingga bang Ridwan bisa mengawasi mereka semua. 

Dua jam berlalu dengan cepat, waktunya mereka pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan mereka tertawa bahagia, tapi tawa Afri menghilang ketika ia telah tiba di depan rumahnya.

“Dadagh Afri.” Teman-temannya melambai sambil terus berjalan ke rumah masing-masing.

“Jangan tidur larut malam ya Fri agar besok tidak terlambat shalat subuh.” Bang Ridwan menyempatkan diri untuk mengingatkannya lalu kembali berjalan pulang.

Afri mengangguk, dalam hati ia melamatkan doa-doa. Dibukanya pintu gerbang dengan tergesa-gesa kemudian berlari di antara motor Mita dan mobil ayah. Hampir terpeleset ketika menginjak tumpukan sandal di teras lalu membuka pintu rumah dengan kencang.

“Afri! Apa-apaan sih kamu?” Mita yang sedang duduk di ruang tamu merasa terganggu oleh sikapnya.

“Hhh... hfff....” Afri mengatur nafas yang tersengal.

”Kenapa tergesa-gesa begitu?” Tanya Mita menyelidik.

“Tii-dak kok. Biasa saja.”

“Jangan bohong!”

“Eeeh ada apa sih ini sudah malam masih bertengkar.”

“Ini loh Bu si Afri sekarang hobinya lari dari pintu rumah sampai ke gerbang. Tadi dia hampir terpeleset gara-gara berlari kencang.” Ternyata Mita memperhatikan Afri. 

“Afri, benar yang kakakmu bilang?”

Aduh bagaimana ini kalau aku cerita pasti ditertawakan, kata Afri dalam hati lalu ia menggeleng, “Tii-dak kook.” Diulangnya jawaban.

“Ck! Bohong dia Bu, pasti ada sesuatu.” Kata Mita jengkel. 

Ayah yang mendengar perbincangan itu dari ruang keluarga kemudian menghampiri mereka namun Afri masih tutup mulut dengan wajah bimbang. Oleh ayah dibimbingnya Afri ke kamar, “Sekarang Afri bisa menceritakan pada Ayah.” Beberapa menit berlalu kemudian Afri mendekat dan membisiki ayah.

“Ooo begitu, baik nanti Ayah lihat ya. Tapi kalau di dalam rumah tidak takut kan?”

“Tidak Ayah.” Ada perasaan lega setelah Afri memberitahu kegundahannya selama ini. Ia percaya kalau ayahnya pasti bisa mengusir hantu itu.

~o~

Tidur sampai siang menjadi kebiasaan Afri ketika hari libur. Ayah dan ibu tidak melarangnya asalkan ia tetap bangun pagi untuk shalat subuh dan menunggu sampai matahari terbit, “langsung tidur setelah shalat subuh itu tidak baik Afri, tunggulah sampai pagi ya.” Begitu kata ayah waktu itu dan tanpa dikomando lagi matanya memang menjadi sangat berat ketika waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. Afri akan mengakhiri buku yang ia baca kemudian menarik selimut sampai matahari siang menembus jendela kamar yang telah ibu buka.

“Afri ayo bangun,” tapi hari ini masih pagi ketika ayah membangunkannya. “Afri.” Tepukan pelan di pundak membuat Afri membuka mata. “Ikut Ayah.”

“Mau kemana?” Kata Afri sambil masih setengah terpejam.

“Memetik mangga.”

“Haahh.” Tapi demi mendengar kata mangga kantuk Afri menjadi hilang. “Tidak mau ah. Takut. Ada penunggunya.”

Ayah tertawa kecil, tentu saja ayah masih ingat ketika Afri membisiki dan memberitahu kalau ia melihat bayangan putih di atas pohon mangga, ayah pun dapat merasakan getirnya suara Afri ketika mengatakan kalau bayangan putih itu kuntilanak. 

“Ayolah... percaya sama Ayah. Dan lagi masa siang-siang ada hantu.”

“Aaa-da kook siang hari juga dia masih di situ.”

“Tapi kalau siang Afri tidak takut kan?”

Afri tersenyum lebar, “Sedikit.”

Ayah tertawa lagi. “Tenang saja kan ada Ayah.” Perlahan ayah menyibak selimut yang mau tidak mau Afri harus bangun.

Sambil menguap ia mengikuti langkah ayah ke teras, memperhatikan ayah yang mulai memanjat pohon.

“Hiiyyy...” Kata Afri spontan.

“Afri coba lihat ke atas.” Walau takut tapi perintah ayah langsung diikuti oleh Afri. Di antara rimbunnya dedaunan terlihat warna putih bergerak-gerak. Ia mundur beberapa langkah. “Coba perhatikan lebih seksama.” Suara Ayah yang tegas membuat Afri kembali menurut.

Ayah mendekati si putih itu, beliau tidak terlihat takut bahkan duduk di cabang terdekat lalu tangannya menyentuh si putih, bergerak-gerak di atasnya. Afri harus berpindah posisi untuk mengetahui apa yang dilakukan ayah.

“Kaaaiin?” Ternyata tadi ayah membuka ikatan yang di dalamnya berisi banyak buah mangga berwarna kekuningan. “Jadi? Putih-putih itu bukan...” Afri berkata pelan.

“Bukan apa? Hantu? Haha dasar penakut.” Mita tiba-tiba muncul dan tertawa meledek. “Jadi itu alasanmu belakangan ini?” 

“Buah mangga yang ditutup kain itu lebih cepat matang dan tidak dimakan serangga Fri.” Sambil menuruni dahan ayah berkata.

“Tuuuh dengar tuuh kata Ayah, dasar penakut.” Mita mengulang ledekannya.

“Sudah jangan ganggu adikmu.” 

“Habisnya Yah si Afri ini konyol sekali. Makanya lain kali cerita doong atau sekedar bertanya biar tidak salah sangka.”

“Bagaimana mau cerita kalau Kakak selalu meledek, huh!” Mita tidak menyangka dengan jawaban itu apalagi Afri langsung menghambur ke dalam kamarnya meninggalkan Mita dan ayah yang saling pandang.

~o~

“Afri boleh Kakak masuk?” Tidak menunggu Afri menjawab Mita sudah membuka pintu kamarnya dan mendapati Afri yang tidur tengkurap. “Maaf ya.” Belaiannya terasa hangat di punggung Afri. “Kakak jahat ya? Padahal Kakak hanya bercanda loh.” Afri masih diam, “Nih Kakak bawakan mangga yang tadi diambil ayah, enak deh maniiiss banget seperti Afri.” Rayunya yang ternyata membuat Afri tertawa. “Kakak jadi teringat dengan sebuah cerita mengenai paku di dinding, Afri mau mendengarnya?” Tanya Mita kepada Afri yang sudah membalik badan.

“Mau Ka.” Seketika Afri duduk di ranjang dan mulai menyantap mangga yang disodorkan oleh Mita.

“Ada seorang anak yang sangat nakal. Jika sedang marah atau kesal atau jahil dengan mudahnya ia meledek, mengumpat bahkan menghina, lalu suatu hari sang ayah memberikan sekantong besar paku sambil berkata bahwa setiap ia ingin berbuat jahat pada orang lain ia harus menancapkan paku di dinding garasi, ternyata anak tersebut setuju. Keesokannya ada seorang pengemis yang melintas dan ia ingin sekali mengganggu pengemis itu, tapi alih-alih menghina ia justru mengambil paku-paku untuk ditancapkan ke dinding, pikirnya kegiatan menancap paku lebih menyenangkan karena tidak dimarahi walau telah merusak sesuatu. Setelah lelah memaku barulah ia berhenti, keesokan hari hal itu terjadi lagi dan ia kembali menancapkan paku. Kejadian itu berlangsung setiap keinginannya untuk berbuat nakal muncul, sampai suatu hari ia melihat dinding garasinya sudah penuh dengan paku, tidak ada lagi celah tersisa lalu ia terdiam, merenungkan bahwa apa yang telah ia lakukan itu sangat melelahkan dan membuat jelek dinding garasi. Kepada ayahnya ia berkata bahwa mulai saat ini tidak mau lagi memaku dinding dan akan berusaha untuk menjadi anak yang baik. Si ayah sangat senang mendengar itu tapi ayahnya memberikan tugas baru untuk menguji kesabarannya.”

“Apa itu Kak?” 

“Yaitu mencabut semua paku di dinding. Meski agak berat namun anak tersebut menyanggupi dan beberapa lama kemudian dinding garasi sudah tidak berpaku lagi. Tapi sayangnya lubang di dinding bekas paku-paku itu menancap tidak bisa hilang begitu saja. Ia memberitahu sang ayah dan ayahnya berkata bahwa paku-paku itu ibarat perkataan atau sikap jahat kita kepada orang lain yang akan membekas di hati walau kita sudah meminta maaf.”

Afri mendengarkan dengan serius sambil tidak berhenti mengunyah mangga.

“Jadi... apa perkataan kakak tadi ibarat menancapkan paku? Apa Afri marah dan sakitnya akan terus membekas di hati Afri?”

Bukannya menjawab Afri justru memeluk Mita, “Tidak Kak, Afri tidak marah.”

“Sungguh?”

“Iya,” Afri menggangguk, “malahan Afri malu karena sudah menjadi anak penakut, hehe. Padahal setan kan justru takut ya Ka sama manusia.”

Mita berkaca-kaca mendengarnya, “iya sayaangg.” Dipeluknya Afri dengan erat. Dalam hati ia berjanji akan berusaha menjadi kakak yang lebih baik sekaligus sahabat bagi Afri.

oOo

 






Fabel : Desa Samba

“Samba... Samba... Samba....” Marsya dan Fasia terus menerus mengulang kata ‘Samba’. Mereka ingin diceritakan dongeng itu kembali.

“Memangnya belum bosan? Bunda saja sudah.” Bunda melipat tangan di dada, matanya silih berganti melihat ke kedua anak putrinya.

“Sekali lagi Buunn....” 

“Iyaa sekaliii lagi.” Fasia mengikuti kata-kata saudara kembarnya. Mereka tidur di kamar yang sama dengan ranjang terpisah.

“Hmm baiklaah anak-anak Bunda yang shalehah. Sekali ini saja ya karena sebenarnya Bunda mempunyai dongeng lain yang tidak kalah bagusnya.”

Kedua anak itu bertepuk tangan senang. 

“Samba adalah sebuah desa yang berada di tengah hutan terpencil. Penduduknya pun ukurannya kecil-kecil. Tahukah kalian siapa mereka?” Bunda duduk di tepi ranjang.

“Belalaang.” Sahut mereka bersamaan.

“Benar,” bunda melanjutkan, “tapi bukan sembarang belalang melainkan belalang-belalang dengan warna yang cantik. Ada yang berwarna pelangi, ada yang hijau seperti belalang pada umumnya namun ada juga yang kuning keemasan yaitu keluarga sang raja belalang. Hidup mereka sangatlah damai. Daun, bunga, rumput dan segala macam makanan tersedia, makanya tidak heran kalau tubuh mereka gemuk-gemuk dengan pipi yang tembam.” 

Fasia dan Marsya tertawa melihat Bunda yang menggembungkan pipi.

“Di antara belalang-belalang itu ada tiga ekor belalang yang berusia muda. Nama mereka adalah....”

“Poni, Pika, Puluu.” Kali ini Marsya lebih dulu menjawab daripada Fasia.

“Iya benar sekali, mereka adalah anak-anak dari sang raja belalang. Oleh karena itulah kulit mereka berwarna keemasan seperti sang raja. Di suatu siang Poni, Pika dan Pulu baru saja menyelesaikan latihan terbang mereka ketika Poni berkata ‘Hei saudaraku bagaimana kalau kita berlomba terbang?’ Poni merasa lebih hebat daripada kedua saudaranya itulah sebabnya setelah kepergian Doan si pelatih Poni langsung menantang Pika dan Pulu. 

‘Ah tidak mau, aku mau pulang saja. Kaki dan sayapku pegal sekali.’ Kata Pika sambil bersandar di sebuah bunga. 

‘Huuuh dasar lemah, baru begitu saja sudah pegal. Bagaimana denganmu Pulu? Apa kamu menyerah juga?’ Kata Poni sombong. 

‘Boleh-boleh saja tapi alangkah lebih baiknya kalau kita beristirahat sebentar.’ Dan jawaban Pulu disetujui oleh Poni, selama beberapa saat mereka merebahkan diri di atas daun-daun berukuran besar sambil menikmati semilir angin yang sangat sejuk.

Hampir saja Pulu tertidur ketika Poni berseru, ‘Hei Pulu sudah cukup bukan istirahatnya? Marilah sekarang kita berlomba. Siapa yang terbang paling jauh menjadi pemenangnya dan yang kalah akan diberitakan ke seluruh desa.’ Dengan berat Pulu membuka mata, sebenarnya ia tidak ingin menerima tantangan Poni tapi Poni adalah seekor belalang yang berkemauan keras.

‘Baiklah, akan terbang ke mana kita?’

‘Ke utara.’ Poni menunjuk ke arah utara.

‘Jangan ke sana!’ Pika berseru takut, ‘ada manusia di sana. Nanti kalian ditangkap!’

‘Haha ya tentu saja ada manusia. Di utara itu kan tempat tinggal mereka. Lihat saja kastil-kastilnya.’ 

‘Pika benar, kita terbang ke selatan saja.’

‘Ke arah pantai? Aku tidak mau! Ayo cepat Pulu dalam hitungan ketiga aku sudah akan terbang dan kamu pasti tidak mau tertinggal kan?’ Poni menunduk sedikit, sayapnya mengepak pelan. ‘Setelah sampai di kastil pertama barulah boleh terbang kembali ke sini. Pika yang menjadi jurinya.’ Keinginan Poni sudah tidak bisa dicegah dan Pulu tidak mau kalah dalam perlombaan ini, bisa-bisa ia nanti dijelek-jelekkan ke seluruh desa.

‘Satu....’

‘Tunggu! Biar aku yang menghitung.

‘Baiklah Pika, cepatlah hitung.’

Pika menghitung sampai tiga dan melihat kedua saudaranya itu terbang melesat. Kepakan sayap mereka perlahan hilang di kejauhan. 

‘Poni kamu tidak lelah?’ 

‘Haha kamu ingin menipuku ya Pulu?’ 

Padahal Pulu tidak ingin menipu Poni, Pulu hanya kasihan melihat Poni yang sudah terlihat lelah. Tubuh Poni lebih gemuk dari Pulu, keringat sudah mengucur dan terbangnya pun mulai melambat. Beberapa kali ia merendah tapi kemudian memaksakan diri untuk kembali terbang tinggi. 

‘Bagaimana kalau kita beristirahat dulu setelah itu kembali melanjutkan menuju kastil?’

‘Tidak mau!’ Poni mendahului Pulu. Mereka baru setengah perjalanan menuju kastil. Tanpa Pulu ketahui bahwa Poni memang merasa sangat lelah tapi ia terlalu gengsi untuk mengatakan itu. Ia tidak mau kalah dari Pulu. Apalagi kalau ayah mereka sampai tahu.”

“Sang raja jahat ya Bun?” Fasia menyela cerita Bunda.

“Tidak sama sekali. Raja saaangat baik oleh karena itu lah Poni ingin selalu tampil baik pula di mata ayahnya. Ia terus saja terbang padahal sudah pegal dan tiba-tiba sayapnya menjadi kaku lalu ia terjatuh ke tanah. Pulu yang terbang di belakangnya tentu saja melihat hal itu maka ia pun menyusul Poni yang terjatuh di atas gundukan daun-daunan yang sudah kering. 

‘Poni kamu kenapa?’

‘Aduh sayapku tidak bisa digerakkan.’ 

‘Yaah bagaimana ini? Kamu sih memaksa untuk terus terbang.’

Di antara kepanikan mereka terdengar suara-suara. Derap kuda dan tawa.

‘Pulu kamu harus menarikku. Sepertinya ada manusia yang lewat sini.’ 

Dengan susah payah Pulu menarik Poni tapi Poni justru terjebak dalam timbunan daun padahal suara-suara itu semakin mendekat. Kaki Poni menendang daun-daun agar ia bisa keluar dari sana namun usahanya sia-sia.

‘Psstt jangan begitu, lebih baik kamu bersembunyi di bawah daun.’ Pulu mulai menutupi tubuh Poni, sedetik kemudian ia terbang ke balik pohon.

‘Semoga malam ini tidak hujan jadi kita bisa berpesta sampai puas hahaha.’

‘Benar saudaraku. Kita makan sampai kenyang.’

Salah seorang pejalan kaki menarik kuda yang membawa seekor rusa hasil berburu mereka. Lalu si kuda meringkik, berhenti tepat di depan timbunan daun.

‘Kenapa kamu berhenti?’ Tanya pejalan kaki itu dengan kesal. Kemudian pandangannya mengikuti pandangan sang kuda yang melihat ke arah timbunan daun. Ada sesuatu yang berkilap di sana.

‘Apa itu?’ Tanya temannya.

‘Emas?’ Si pejalan kaki berlutut, ia menyingkirkan daun-daun yang hanya menutupi sedikit tubuh Poni. ‘Belalang?’ Katanya sambil mengangkat Poni. 

‘Bagus sekali! Baru kali ini aku melihat belalang berwarna kuning emas. Wahahaha kita bisa jual ke Raja, dia pasti dengan senang hati akan membelinya.’

“Iya betul sekali, pangeran pasti ingin memiliki belalang cantik ini. Hahahaha.’ 

Poni dimasukkan ke dalam botol yang sudah kosong dan dua orang itu kembali melanjutkan perjalanan menuju kerajaan. Meninggalkan Pulu yang tidak tahu harus berbuat apa.”

“Kasihan sekali Poni.”

“Tapi kan salah dia sendiri, coba kalau dia tidak sombong mengadakan lomba terbang kan dia tidak akan tertangkap.”

Pada bagian ini Marsya dan Fasia biasanya menghentikan cerita Bunda lalu mereka berdebat.

“Iya sih dan lagi seharusnya sebelum terbang jauh dia melakukan pemanasan dulu ya Bun. Aku saja kalau mau berenang pasti pemanasan dulu, berlari-lari atau melompat-lompat.”

“Iya sayang. Sekarang ceritanya mau diteruskan atau....”

“Teruskan doongg.” Mereka kembali kompak.

“Baiklah. Setelah beberapa saat Pulu memutuskan untuk mengikuti mereka karena toh percuma kalau Pulu kembali ke desa Samba untuk meminta bantuan tanpa mengetahui di mana Poni berada. Akhirnya setelah perjalanan yang melelahkan tibalah mereka di kerajaan. Setelah kedua orang itu memasukkan kuda ke kandang dan menyimpan rusa hasil buruannya, mereka bergegas menuju istana raja. 

Ternyata raja, permaisuri apalagi pangeran sangat senang dengan Poni, ini pertama kalinya mereka melihat belalang yang unik. Kedua orang tadi pergi setelah mendapat bayaran dan Poni dalam botol kaca langsung dibawa oleh pangeran ke kastilnya.

Dari balik jendela Pulu mendengarkan semuanya. Setelah itu dengan secepat kilat Pulu terbang kembali ke desanya tanpa menghiraukan rasa lelah, ia hanya berdoa semoga sayapnya tidak menjadi kaku seperti Poni.

Langit sudah senja ketika Pulu tiba. Pika yang sudah menunggunya sejak lama langsung mendekat.

‘Kenapa kalian lama sekali! Mana Poni?’

Pulu tidak langsung menjawab karena sangat kelelahan.

‘Pulu apa yang terjadi? Kenapa kamu cemas?’ Pika melihat sayap Pulu yang bergetar pertanda ada sesuatu yang dicemaskan oleh Pulu.

‘Kita harus memberitahu ayah.’

‘Haahh... kenapa?’

Dengan singkat Pulu menjelaskan dan setelah itu barulah mereka memasuki desa samba untuk menemui ayah mereka. 

‘Nanti malam kita akan berangkat menuju kastil untuk menjemput Poni.’ Prajurit belalang berkata lantang. 

‘Aku ikut.’ Kata Pulu yang kemudian dibantah oleh sang ayah. 

Pulu memang sudah terlalu lelah untuk kembali melakukan perjalanan maka ia menyetujui kata-kata ayahnya untuk tetap berada di Samba. Waktu terasa lambat berlalu, kunang-kunang sudah beterbangan, katak bersahutan dan burung hantu pun telah bercokol di batang pohon namun Poni serta prajurit-prajurit penyelamat itu belum juga kembali. 

Bulan semakin tinggi, angin dingin menerpa Pika dan Pulu yang bertengger di atas daun. Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara sampai Pika melihat sesuatu.

‘Lihat!’ Dari kejauhan nampak cahaya keemasan menembus gelapnya hutan. Cahaya keemasan itu memantulkan cahaya-cahaya pelangi di belakangnya. Mereka selamat.”

“Yeaayy...” Marsya dan Fasia bertepuk tangan.

“Tapi... bagaimana cara prajurit itu menyelamatkan Poni Bun?” Dongeng Desa Samba sudah sering diceritakan tapi baru kali ini pertanyaan itu terlontar.

“Para prajurit itu menghancurkan botol kaca tempat Poni disekap kemudian dengan segera mereka terbang keluar dari istana dan menuju Samba.”

“Ooo begitu.” Marsya nampak puas dengan jawaban Bunda.

“Aku tidak ingin seperti Poni yang nakal, gara-gara Poni semua belalang menjadi cemas.” Kata Fasia dengan bijaksana.

“Betul sekali anak shalehah. Kita tidak boleh sombong karena kesombongan bisa mencelakakan diri sendiri bahkan mencelakakan yang lain. Baiklah sekarang waktunya kalian tidur. Selamat malam sayang, jangan lupa membaca doa ya.” 

Marsya turun dari ranjang Fasia lalu naik ke tempat tidurnya sendiri.

Bersama-sama kedua anak kembar itu melafadzkan doa-doa sebelum tidur. Dalam pejaman mata mereka bunda yakin kalau mereka masih mengingat cerita tadi dan dapat mengambil hikmahnya. 

oOo

15.2.16

Berkah Hujan

“Aku tidak suka hujan. Hanya mengingatkanku pada hari di mana ibu menangisi ayah. Saat itu hujan lebat ayah justru keluar rumah, tak pernah kembali. Ibu ingin mencari tapi hujan menghalangi.

Aku tidak suka hujan. Karena membuat rumahku basah. Sebenarnya bukan rumah kami, tapi rumah kontrakan yang sudah bertahun-tahun dihuni. Bocor. Si pemilik rumah tidak ingin memperbaiki. Di rumah ini pun tidak ada yang memperbaiki. Ibu tak bisa. Aku tak berani. Kami hanya sibuk melipat kasur dan merapikan barang-barang di lantai lalu meletakkan di atas meja atau lemari. Hujan di luar, hujan pula di dalam.

Aku tidak suka hujan. Suara gunturnya menakutkan. Petirnya menggelegar laksana ingin menyambar siapa saja yang berada di dekatnya. Kilatnya terlihat dari jendela yang tidak bergorden, membuatku takut tapi urung untuk menangis. Ibu sibuk menadahkan air dengan ember sambil mengepel lantai yang sudah tergenang. Aku meringkuk bersama adik di atas sofa pemberian tetangga yang busanya sudah tidak ada.

Aku tidak suka hujan. Membuatku semakin cepat lapar, padahal jatah makan hanya dua kali sehari.

Aku tidak suka hujan. Selimut kami sangat tipis, ukurannya kecil. Tersingkap di kaki ketika ibu tarik untuk menyelimuti adik. Membuatku terbangun dan kedinginan.
Aku tidak suka hujan. Cucian tetangga jadi lebih lama kering, itu artinya upah mencuci ibu jadi terlambat. Padahal tiap sennya sangat kami butuhkan untuk menyambung hari. Terpaksalah porsi makanku dikurangi.

Aku tidak suka hujan. Tidak bisa bermain di luar. Terperangkap dalam petak yang sempit. Kami pun tidak punya televisi, hiburanku hanya adik dan tetesan air hujan dari lubang di atap.

Ya Tuhan... apakah aku salah karena tidak suka hujan? Maafkan aku.”

Riandra masih menunduk setelah selesai membaca tulisannya namun perlahan ia mengangkat wajah ketika mendengar tepuk tangan.

“Bagus Ri, bacaanmu penuh penghayatan.”

“Terima kasih Bu.” Riandra menyerahkan kertas itu dan kembali ke tempat duduk. Ibu guru Mita kemudian memanggil siswa lain untuk membaca narasi. Tadi, siswa kelas dua belas mendapat tugas untuk menulis narasi yang bertema Hujan dan langsung dibacakan oleh siswa yang lain. Sekilas Riandra melihat nama si penulis di belakang lembaran yang ia baca. Sigit.

~o~

“Git...” Ia mensejajarkan langkah Sigit. “Tulisanmu tadi... kenapa muram begitu.”

“Ah masa sih? Biasa saja, kamu nya mungkin yang sedang sensitif.”

“Haha, baper maksudmu? Bawa perasaan.”

Sigit hanya tersenyum. Di kelas Sigit memang pendiam dan kurang bergaul, tidak seperti Riandra yang supel dan mempunyai banyak teman. Tapi menurut Riandra Sigit adalah seorang pengamat lingkungan, ia pun saingan Riandra dalam berprestasi di kelas.

“Jadi... tulisanmu itu hanya sekedar tulisan?” 

“Di luar sana banyak orang yang bernasib seperti di tulisanku Ri, andai kamu mau lebih memperhatikan.”

Jawaban Sigit menyentak Riandra, “Mak-sud-nyaa?” Entah kenapa ia agak sedikit tersinggung.

“Tidak ada maksud apa-apa. Aku salah bicara? Maaf ya. Dagh Ri.” Sigit berbelok menuju parkiran, Riandra masih ingin membahas namun klakson mobil mengurungkannya.

“Hai sayaang.” Mama membuka jendela mobil, Riandra berlari kecil memasuki mobil dan langsung memasang safety belt. Ia sempat menengok dan melihat Sigit yang mulai mengendarai sepeda fixienya. Mereka beradu pandang.

~o~

Kata-kata Sigit masih terngiang sampai keesokan hari. Jiwa kritis Riandra membuatnya datang pagi-pagi dan menunggu Sigit datang, ia ingin tahu lebih banyak sebelum pelajaran dimulai.

“Sigit.”

“Iya.” Jawab Sigit datar.

“Aku masih ingin tahu yang kemarin, ceritakan lebih banyak doong....” 

Beberapa orang teman sekelasnya lewat dan memandang heran pada Riandra yang sebelumnya jarang sekali berbicara dengan Sigit.

“Hmm tidak seru kalau diceritakan. Lebih baik nanti sore sepulang sekolah kamu ikut aku.” Kata Sigit masih dengan wajah datar.

Alhasil seharian itu dilewati Riandra dengan tidak konsentrasi pada pelajaran. Ia bertanya-tanya mau dibawa kemana nanti oleh Sigit. Ke bawah jalan layang tempat biasanya para pemulung tinggal kah? Atau ke tempat pembuangan sampah yang dijadikan hunian seadanya? Tapi dugaannya meleset karena mereka pergi tidak terlalu jauh, hanya memutari perumahan Riandra di belakang tembok tinggi yang menjadi pemisah antara rumah si kaya dan si miskin, perbedaan kontras antara rumah berlantai dua dengan jendela warna ungu lavender dengan rumah reot bercat putih yang sudah mengelupas dan berubah warna menjadi abu-abu kusam.

“Itu kan... rumah ku.” Jendela ungu lavender bergoyang tertiup angin. Riandra memang sengaja membuka jendela kamarnya agar sirkulasi udara tetap lancar, toh jendela itu dipasangi teralis jadi tetap aman.

“Iya itu memang rumahmu dan ini rumah dalam tulisanku.”

Sigit menatap lurus, seorang bocah laki-laki berjalan pincang menuju ke arah mereka sambil menggendong bayi.

Riandra tercekat. Kata-kata dalam tulisan Sigit berkelebat dalam ingatannya.

“Haloo Kak Sigit.”

“Haai Assalamu’alaikuum.” Sigit tersenyum, hal yang jarang dilihat Riandra.

“Kakak membawa teman nih, namanya Kak Riandra.” Tanpa canggung Sigit mengambil bayi dari gendongan si bocah.

“Halo Kakak Riandra.”

“Haai....” Riandra menyambut uluran tangan si bocah, “nama kamu siapa?” Sekuat tenaga ia tidak menangis. 

“Farlon.” Katanya sambil tersenyum lebar, seperti tidak ada beban dalam dirinya tidak juga kaki pincang dan kondisi rumahnya.

Andai kamu mau lebih memperhatikan... Kata Sigit kemarin terngiang kembali.

~o~

“Jadi kamu tidak suka hujan?” Dalam kunjungan kedua mereka Riandra membawa banyak pakaian, makanan dan mainan. Sebenarnya Sigit kurang menyukai itu karena ia tidak ingin kalau Farlon sampai berpikir bahwa dengan kondisinya ia bisa mendapatkan belas kasihan dari orang lain, bukankah itu yang memicu fakir miskin untuk mengemis? Begitu katanya yang dibantah oleh Riandra kalau apa salahnya dengan memberi? 

“Eee...” Farlon menunduk, “Habisnya hujan membuat kami susah.”

“Huss tidak boleh berbicara begitu Farlon, hujan itu rahmat airnya pun amat bersih makanya bisa membuat subur tanah dan tanah yang subur bisa ditanami apa saja seperti padi, jagung, sayuran. Kalau hujan tidak turun nanti tanahnya menjadi gersang dan tumbuhan mati terus kita makan apa?”

“Iya Kak Sigit tapi rumahku bocor kalau hujan. Tidak seperti rumah itu.” Farlon mendongak ke arah rumah Riandra, membuat Riandra menjadi kikuk. “Enak tinggal di sana.” Katanya lagi.

“Kok bisa tahu kalau tinggal di sana enak?” Sigit bertanya sambil melirik Riandra.

“Iya kadang-kadang aku mendengar suara musik dari kamar itu.” Farlon menunjuk tepat ke arah kamar Riandra membuat Riandra ingin menghilang dari bumi. Dalam hati ia menyesali kenapa selalu memutar musik dengan volume yang sangat kencang.

“Nanti suatu saat Farlon juga bisa mempunyai rumah seperti itu, asal Farlon mau belajar dan berusaha pasti bisa.”

“Benar Kak?”

Sigit mengangguk, “dan jangan lupa berdoa.”

“Farlon selalu berdoa,” katanya kembali menunduk.

“Jangan berhenti, terus berdoa. Apalagi ketika hujun turun harus lebih banyak berdoa karena doa dikala hujan itu insyaa Allah lebih cepat dikabulkan.”

“Oooo...” Farlon mengangguk. Dahinya berkerut seolah ia sedang mencerna semua kata-kata Sigit.

~o~

Riandra membacakan hafalan surat Al Maa’un dan berhenti sesaat pada ayat ketiga yang artinya, ‘dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin,’ lalu kembali membaca sampai habis di ayat ketujuh.

“Umi aku mau tanya.”

“Silakan Ri.”

“Bagaimana hukumnya kalau kita mempunyai tetangga yang sangat miskin?” 

Umi Salamah yang dipanggil ke rumah untuk mengajarkan mengaji Riandra tersenyum mendengar pertanyaan itu.

“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain dan lingkungannya, jadi Riandra bisa menjadi orang yang bermanfaat dengan menolong tetangga tersebut.”

“Aku harus memberi makan setiap hari?” Tanya Riandra sambil bertopang dagu.

“Kenapa tidak? Bukan termasuk golongan orang beriman yang ia merasa kenyang tetapi tetangganya kelaparan.” Riandra diam mendengarkan, “Tapi... daripada kita memberi ikan lebih baik memberinya kail kan?” Umi Salamah yakin Riandra mengerti apa maksud perkataannya.

~o~

“Assalamu’alaikum... Selamat siang untuk semua om dan tante. Maaf Riandra mengganggu acaranya sebentar. Seperti yang papa tadi sudah katakan bahwa ada sesuatu yang ingin Riandra perlihatkan, semoga om dan tante berkenan yaa...” kata Riandra sambil memulai presentasinya. Arisan bulanan yang kali ini diadakan di rumahnya memberikan ide kepada Riandra untuk menggalang dana. “Ini rumah aku, eh bukan deh maksudnya rumah papa dan mama hehe,” tawa kecil terdengar dari peserta arisan, “aku bersyukur kepada mama dan papa yang memberiku rumah yang nyaman,” ia menekan keyboard laptop dan slide berganti. “Ini juga rumah kami tapi tampak dari belakang, jendela ungu itu kamarku. Sampai sebulan yang lalu aku tidak tahu kalau di belakang kamarku berdiri sebuah rumah yang... kumuh.” slide berganti dan wajah-wajah di depannya mulai berubah.

“Rumah itu dihuni oleh ibu dan dua orang anaknya yang masih balita. Si ibu bekerja sebagai buruh cuci dan menyetrika pakaian dari tetangga-tetangganya. Anak yang besar tidak bersekolah karena tidak mempunyai biaya jadi ia hanya di rumah sambil menjaga adiknya. Riandra ingin sekali membantunya berjalan normal kembali karena kakinya pincang, ia menjadi korban tabrak lari saat hujan deras. Riandra ingin sekali membantunya sekolah lagi, ingin memperbaiki rumah mereka yang selalu bocor kala hujan turun. Tapi Riandra tidak punya uang untuk membiayai itu semua oleh karena itu... Riandra berdiri di sini.” Ia menunduk walau tak ada gugup dalam kata-katanya. Ia terbiasa membuat presentasi dan telah memenangi lomba pidato antar sekolah. “Barangkali ada om dan tante yang ingin membantu. Sekian dari Riandra, terima kasih.” Ia mematikan laptop dan mencabut kabel koneksi ke proyektor. 

~o~

“Terima kasih Pak Bu, dengan apa kami bisa membalas kebaikan kalian.” Berulang kali ibu Farlon membungkuk di depan mama dan papa Riandra.

Sigit dan Riandra yang melihatnya hanya tersenyum, mereka juga ikut bahagia karena donasi dari teman-teman orang tua Riandra cukup untuk memperbaiki atap rumah, bahkan om Restu yang berprofesi sebagai dokter tulang berjanji untuk mengobati kaki Farlon. 

“Ah jangan begitu Bu, bukan apa-apa kok. Oh iya bisa kita ke rumah pak RT sekarang untuk kelengkapan administrasi Farlon di sekolah?” Dan mama papa Riandra juga bersedia membantu Farlon untuk bisa bersekolah lagi. 

“Bisa Bu, mari Bu.” Kata ibu Farlon masih sambil membungkuk. 
Tinggallah Sigit, Riandra dan Farlon yang berdiri di depan rumah sambil memperhatikan dua orang tukang yang sedang mengganti genting.

“Farlon bagaimana perasaanmu?”

Yang ditanya tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. “Senang buanget Kaak. Terima kasih yaa...”

“Jangan berterima kasih ke aku tapi ke Kak Riandra niih.”

“Iya sama Kak Riandra juga, terima kasih buangeett.” Katanya membuat Sigit dan Riandra tertawa.

“Kamu tahu tidak kenapa ini bisa terjadi?”

“Kenapa Kak Riandra?”

Riandra tersenyum, “karena hujan.” Farlon menatap Riandra bingung, “Gara-gara tulisan tentang hujan aku jadi mengenalmu.” Farlon masih bingung tapi tidak bagi Sigit.

“Di setiap kesulitan ada kemudahan dan akan beruntunglah orang-orang yang bersabar dalam kesulitannya.” Kata Sigit lebih ke dirinya sendiri.

oOo

9.2.16

Instagram Tidak Lagi Menyediakan Fitur Menghapus Akun Secara Permanen

Awalnya saya memutuskan untuk menghapus akun instagram saya tapi ternyata saat ini instagram tidak menyediakan fitur menghapus akun secara permanen, yang tersedia yaitu penonaktifan sementara. Begini langkah-langkahnya :

1. Log In Instagram di PC kamu https://www.instagram.com/ karena ini tidak bisa dilakukan lewat handphone.



2. Tampilan pertama adalah HOME jadi kamu harus klik nama akun mu dan masuk ke SUNTING / EDIT PROFILE kemudian klik tulisan di pojok kanan bawah. 



3. Instagram akan bertanya alasan mu dan setiap jawaban akan diresponnya secara berbeda.



4. Saya memilih masalah privasi dan tampilan yang keluar seperti ini :



5. Klik AKUN DINONAKTIFKAN SEMENTARA atau TEMPORARILY DISABLE ACCOUNT dan kamu sudah keluar dari Instagram mu.



Tapi karena ini bersifat sementara jadi besok-besok mudah saja mengaktifkannya kembali... aaah Instagram membuat orang galau haha.

6. Lalu saya mencoba cek dari si mbah Google daan memang sudah tidak ada sih akunnya.



7. Langkah terakhir? Delete doong dari HP biar tangan ga mencet-mencet si ikon Instagram yang unyu-unyu itu hehe.

Terus nanti kalau ada yang bertanya, "kenapa dihapus?" (ih GR ini sih siapa juga yang mau nanya :P) paling jawaban saya, "sudah malas aja," atau... "Meminimalisir sifat narsis bin ujub bin riya'" sambil pasang senyum paling manis winkwink.

Oh iyya tapi kalau kamu sayang dengan foto-foto yang ada di Instagram kamu bisa back up dulu kok, dengan cara klik salah satu foto nya lalu simpan di PC mu. (saya sarankan sih yang paling bawah saja biar semua foto bisa ke angkut).

Oke lah sekian dulu postingan saya ini, have a nice day guys ^^

1.2.16

Amalan-amalan Penghapus Dosa - Tausiah Ustadz Dr Syafiq Reza Basalamah, MA

Berikut ringkasan tausiah amalan penghapus dosa yang disampaikan oleh Ustadz Syafiq Reza Basalamah.

1. Iman dan amal shaleh

Ketika seseorang berbuat dosa lalu ia selalu mengingat dosanya sehingga ia terus memohon ampun kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan terus berbuat kebajikan sampai Allah memberinya surga.

2. Sabar 

"... kecuali orang-orang yang bersabar dan beramal shaleh maka mereka akan mendapatkan maghfirah dari Allah subhanahu wa ta'ala dan ampunan yang besar."

3. Menyembunyikan sedekah dan memberikannya kepada orang-orang fakir

Allah mengatakan bahwa sedekah terang-terangan dengan niat Lillahi ta'ala itu baik tapi kalau disembunyikan itu lebih baik, dan Rasulullah berkata bahwa sedekah mematikan amarah Allah subhanahu wa ta'ala.

4. Cinta kepada Allah dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad salallahu 'alai wassalam 

Kala Allah sudah mencintai hambaNya Allah akan memanggil malaikat Jibril dan memberitahu bahwa Allah mencintai sang hamba dan malaikat Jibril pun memberitahu kepada semua penghuni langit untuk mencintai hamba tersebut dan Allah akan mengampuni segala dosanya.

5. Menjauhi dosa-dosa besar

Dosa besar adalah dosa yang terdapat ancaman berupa laknat Allah atau hukum haq di dunia ini seperti dipotong tangannya, dirajam dan sebagainya.

6. Istighfar

Dengan berdzikir hati menjadi tenang dan dzikir yang utama adalah beristighfar bahkan setelah selesai shalat/haji pun kita dianjurkan banyak beristighfar. 

Karena orang yang shaleh itu bukan orang yang tidak pernah berbuat dosa melainkan orang yang ketika berbuat dosa lalu segera beristighfar dan dia tidak terus-terusan melakukan dosa tersebut.

7. Taubat Nasuha

Taubat yang benar-benar taubat bukan hanya menghapus dosa tetapi juga digantikan dengan pahala.

8. Memaafkan orang lain

An Nur 22 "Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Hari senin dan kamis amalan kita diangkat dan Allah mengampuni semua dosa kecuali seseorang yang sedang bertikai dengan saudaranya maka kedua orang itu tidak diampuni dosanya sampai mereka berbaikan.

9. Banyak berbuat kebajikan

Sesungguhnya amal kebajikan itu akan menghilangkan dosa-dosa.

Rasulullah berkata kepada Abu Dzar Al Ghifari "Bertakwalah engkau kepada Allah di mana pun berada. Ikutilah amal burukmu dengan berbuat kebajikan."

10. Membaca Laa ilaha ilallahu 

”Barangsiapa mengucapkan ’laa ilaha illallahu wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ’ala kulli syay-in qodiir’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu] dalam sehari sebanyak 100 kali, maka baginya sama dengan sepuluh budak (yang dimerdekakan, pen), dicatat baginya 100 kebaikan, dihapus darinya 100 kejelekan, dan dia akan terlindung dari setan pada siang hingga sore harinya, serta tidak ada yang lebih utama darinya kecuali orang yang membacanya lebih banyak dari itu.” (HR. Bukhari no. 3293 dan HR. Muslim no. 7018)

11. Wudhu

Wudhu tidak hanya membersihkan dari najis tapi juga dari dosa.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang hamba muslim atau mukmin berwudhu, lalu membasuh wajahnya maka keluarlah dari wajahnya segala dosa-dosa karena penglihatan matanya bersama dengan air atau bersama tetes air yang terakhir. Apabila membasuh kedua tangannya maka keluarlah dari kedua tangannya segala dosa-dosa karena perbuatan kedua tangannya bersama dengan air atau bersama tetes air yang terakhir. Apabila membasuh kedua kakinya maka keluarlah dari kedua kakinya segala dosa-dosa yang ditempuh oleh kedua kakinya bersama dengan air atau bersama tetes air yang terakhir sehingga ia keluar dalam keadaan bersih dari dosa-dosa”.  (Shohih. HR. Ahmad II/303 no.8007, Muslim I/215 no.244, Tirmidzi I/6 no.2, dan selainnya).

12. Orang yang adzan

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang di shaf awal, dan muadzin itu akan diampuni dosanya sepanjang radius suaranya, dan dia akan dibenarkan oleh segala sesuatu yang mendengarkannya, baik benda basah maupun benda kering, dan dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang shalat bersamanya” (HR. Ahmad dan An Nasa’i dengan sanad yang jayyid)

13. Berangkat ke Masjid

Berangkat ke Masjid akan diampuni dosa-dosanya, diangkat derajatnya, dan kebaikannya akan dicatat banyak sesuai dengan jumlah langkah-langkahnya.

"Tidaklah seorang yang berwudhu kemudian dia perbaiki wudhunya, kemudian dia berangkat ke masjid dari masjid-masjid yang ada ini, dengan setiap langkah pahala dan Allah akan derajatnya dengan setiap langkah, dan Allah akan hapuskan dengan setiap langkahnya dosa-dosanya.  (HR. Ibnu Mas'ud)

14. Dzikir setelah shalat

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Barang siapa membaca : Subhanallahi Wabihamdih (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali, maka dosa-dosanya nya akan diampuni, dan meskipun sebanyak buih lautan.” (HR. Tirmidzi)

Berdzikir yang paling ringan dan sudah merupakan sunnah adalah sepuluh kali setelah selesai shalat .

15. Shalat Taubat bersama wudhu dan istighfar

Dari Ali bin Abi Thalib ra. Rasulullah bersabda, "Tidaklah seorang hamba yang melakukan dosa kemudian dia wudhunya disempurnakan, kemudian dia berdiri shalat dua rakaat kemudian dia beristighfar kepada Allah melainkan Allah akan mengampuni dosanya. (HR Abu Daud).

Shalat taubat itu bukan shalat rutinitas tiap malam, shalat taubat melainkan ketika melakukan dosa langsung shalat taubat seperti halnya sujud syukur yang ketika mendapatkan nikmat yang besar nan agung maka melakukan sujud syukur.

16. Qiyamu Ramadhan atau Shalat Tarawih di bulan Ramadhan

"Barang siapa yang shalat di bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka diampuni dosa-dosanya."

17. Shalat malam

"Laksanakanlah shalat malam itu kebiasaan orang-orang shaleh sebelum kalian, pendekatan diri kepada Allah, ia itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahan kalian dan mencegah dari perbuatan dosa."  (HR Tirmidzi)

18. Sabar ketika mendapatkan bala dan musibah

"Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim baik berupa malapetaka, kegundahan, rasa letih,  kesedihan, rasa sakit, kesusahan sampai-sampai duri yang menusuknya kecuali Allah akan melebur dengannya kesalahan-kesalahannya." (HR Bukhari)

Afwan kalau ada kekurangan atau salah dalam penulisan ini ya...

Untuk lebih jelasnya bisa dengarkan di sini sahabat fillah ^^



Friends *ThankU ;)