3.3.15

Monolog : Rindu Yang Ironi

Kata orang rindu itu menyakitkan.
Kata orang rindu itu hanya bisa diobati dengan bertemu dengan orang yang dirindukan.
Kata orang rindu itu…
Ah aku tidak ingin menyuarakan apa kata orang, kali ini biarkan aku mengungkapkan polemik rindu ku sendiri.

Yah rindu yang hanya datang ketika aku hampir memejamkan mata.
Rindu yang ironi karena bayangannya berseliweran di antara ayat-ayat doa yang biasa dilafazkan sebelum tidur.
Rindu yang sempat hilang dan bisa dimunculkan kembali hanya dengan satu deringan telpon, seperti seseorang yang melamun dan disadarkan kembali dengan satu jentikan jari.

Lalu semua kenangan seakan baru terjadi kemarin… Yang membuatku tersadar bahwa memang tidak ada yang berubah. Rasa itu masih sama, hanya tersimpan seperti api dalam sekam. Mimik, gestur, senyuman, nada bicara, dan yang itu dan yang ini… Semua seolah baru saja terjadi, menggetarkan hati dan memanaskan pipi. Hanya karena satu dering telpon.

Aku mencari cara keluar dari siksaan rindu yang tidak terobati, merangkak seperti Clark yang menjauh dari pendarnya kryptonite yang menyakiti. Dalam ironi ini aku menemukan jawabannya : dering telpon. Bagaimana kalau kita tutup saja akses si dering telpon itu? Biarkan ia membentur dinding yang gemanya tidak akan aku tahu?

Dan pertanyaan lain muncul, apakah setelah itu aku tidak akan pernah lagi mengingatnya? Ah tentu saja tidak! Sahutku keras kepala. Tentu saja sekelebatan senyum, tawa, suara dan sebagainya itu akan tetap ada. Tapi… Biarlah menjadi konsumsiku sendiri, ketika hati dan pikiran sedang berkonspirasi untuk mencari kesenangannya sendiri. Biarlah…


Note : Catatan masa lalu yang dibuang sayang.

Friends *ThankU ;)