[..
cerita sebelumnya]
janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa
15.55
"Yah.. begitulah, ditambah lagi sekarang aku harus membayar Rumah Sakit ini, uang dari mana?"
Lamat-lamat Ifa menjawab "Biarkan aku yang membayarnya, yang harus kamu pikirkan adalah bagaimana ke depannya kehidupan kalian"
Amir tertegun mendengar kata-kata Ifa, kelelakiannya terusik
"Ngga usah, terma kasih. Aku akan mencari uang sendiri"
"Bagaimana caranya?"
Yang ditanya hanya diam
Setengah jam kemudian Ifa pamit pulang, rencananya besok pagi Amir sudah bisa keluar dari Rumah Sakit, tapi sekali lagi darimana membayar administrasinya? Keluarga dari Mama yang seharusnya membantu mereka justru berlepas tangan, kata-kata Bude Susan terngiang kembali di telinganya
"Maaf ya Mir, Bude bukannya tidak mau membantu tapi keuangan kami juga sedang sulit, coba kamu minta bantuan dari keluarga Papa mu"
Keluarga Papa? Mana mungkin mereka mau membantu, toh datang ke pemakaman Mama saja tidak. Ah susahnya kalau berada di dua keluarga yang sedang berkonflik, Amir membatin. Hanya itu yang bisa ia lakukan mendengar kata-kata Bude, saudara satu-satunya dari Mama
Keesokan paginya
"Knock. knock.. Pagii.. Hei pasien, anda bisa pulang hari ini" Ifa datang dengan seorang suster yang dengan sigap memeriksa denyut nadi Amir dan setelah dipastikan kalau Amir sudah dalam kondisi baik, suster melepaskan selang infus dipergelangan tangannya
"Ifa, kan sudah aku bilang aku ngga punya uang untuk bayar" Suster sudah meninggalkan mereka
"Terus kamu mau tinggal sampai kapan? Semakin lama kamu di sini semakin mahal biayanya, sudahlah ayo pergi"
Amir mengikuti langkah Ifa keluar kamar
"Jadi siapa yang bayar?"
"Aku"
Amir menghadang langkah Ifa, wajahnya serius
"Maaf Ifa, tapi menurut aku kamu terlalu baik, aku bahkan tidak kenal kamu, kamu tiba-tiba datang dan.. menjadi malaikat penolong"
Lagi-lagi Ifa tersenyum, tidak tampak tersinggung akan ucapan Amir
"Kamu sudah aku anggap teman, jadi itu cukup untuk bersikap baik kepadamu" Ifa kembali melangkah menyusuri bangsal Rumah Sakit. Hari masih pagi tetapi sudah banyak orang berlalu lalang
"Tidak, itu tidak cukup!!" Amir kembali mensejajari langkah Ifa
"Lalu mau kamu apa?"
"Berapa total biayanya? Aku akan berusaha mengganti uangmu"
"Hffff... nih" Ifa menyerahkan bill dan sebuah kartu nama "Itu alamat dan nomer teleponku, kalau sudah punya uang hubungi aku" ia meninggalkan Amir, perasaan kecewa memenuhi rongga dadanya, sok jual mahal, padahal tadi malam nangis-nangis, huh.. terserah!! ia semakin mempercepat langkahnya
~~
"Kaka, kamu dari mana aja, koq baru pulang?" Nisa, adik semata wayang Amir tengah mengepak barang ketika ia sampai di rumah. Tanpa menjawab, ia menuju kamar Papa dan mengintip dari celah pintu yang terbuka, terlihat Papa sedang menggerak-gerakkan jari tangan dan kakinya
"Pa.."
"Eh Mir, masuk sini, kamu dari mana?" kata-kata Papa tidak sejelas biasanya, bibirnya agak miring ke kiri
"Dari rumah teman, cari lowongan kerja" suatu kebohongan yang diharapnya masuk dalam kategori White Lie, bohong yang diijinkan
"Terus?? Dapat?"
Amir menggeleng, ia merasa telah menjadi anak yang tidak berguna, padahal kedua orang tuanya sudah sangat baik dalam mendidik dan membesarkan ia dan Nisa. Ingatannya kembali kepada kenangan ketika sang Mama masih ada, mereka berempat tertawa bersama, menikmati liburan yang indah atau hanya sekedar duduk di ruang keluarga sambil bermain scrabble. Lalu tiba-tiba kenangannya menjelma menjadi seorang gadis cantik berjilbab biru, duduk di pinggir ranjang Rumah Sakit dan mendengarkan ceritanya dengan khidmat
"Oh iya, kenapa ngga kepikiran sampai ke situ ya?" tiba-tiba ia bergumam, dan beranjak dari duduknya, meninggalkan Papa
Di ruang tengah ia menghampiri Nisa
"Nis, aku sudah mencari pekerjaan ke mana-mana tapi ngga dapet, teruss.. aku punya ide, memang agak gila sih, tapi kalau berhasil ya lumayanlah bisa menghidupi kita bertiga untuk sementara" ia berkata tanpa jeda
"Hah? Apaan tuh?"
"Hemm.. tapi kamu jangan bilang Papa" lalu Amir membisiki Nisa
"Whatt?? Ka.. jangan gila doong, kita memang lagi susah banget, tapi ngga perlu sampai begitu juga" Nisa histeris mendengar rencana kakaknya
"Ssttt.. Ih berisik banget sih, ngga apa-apa Nis, I'll be fine. Dengan uang banyak kita bisa kontrak rumah, mengobati Papa, bikin usaha kecil-kecilan, dan kamu tetap bisa sekolah"
Nisa menggeleng, matanya berkaca-kaca
"Kamu koq bisa kepikiran seperti itu sih Ka?"
Amir tidak menjawab, yang sekarang ingin ia lakukan adalah makan yang banyak, tidur cukup dan kembali ke Rumah Sakit
"Ka.. kamu stres ya?" Nisa mengguncang bahunya, namun ia tetap bergeming
"Aku tahu kamu putus asa, tapi.. ngga harus dengan cara itu" lanjut Nisa
"Lalu harus dengan cara apa? Kita sudah tidak punya apa-apa untuk dijual, jual darahku? paling cuma cukup untuk makan beberapa hari. Sudahlah tidak usah dipikirkan. Aku masuk kamar dulu ya" Amir melangkah menuju kamarnya, meninggalkan Nisa yang kalut
[.. duuh Amir, kamu mau ngapain siihh? tunggu kelanjutannya lagi mau yaa Amir tertegun mendengar kata-kata Ifa, kelelakiannya terusik
"Ngga usah, terma kasih. Aku akan mencari uang sendiri"
"Bagaimana caranya?"
Yang ditanya hanya diam
Setengah jam kemudian Ifa pamit pulang, rencananya besok pagi Amir sudah bisa keluar dari Rumah Sakit, tapi sekali lagi darimana membayar administrasinya? Keluarga dari Mama yang seharusnya membantu mereka justru berlepas tangan, kata-kata Bude Susan terngiang kembali di telinganya
"Maaf ya Mir, Bude bukannya tidak mau membantu tapi keuangan kami juga sedang sulit, coba kamu minta bantuan dari keluarga Papa mu"
Keluarga Papa? Mana mungkin mereka mau membantu, toh datang ke pemakaman Mama saja tidak. Ah susahnya kalau berada di dua keluarga yang sedang berkonflik, Amir membatin. Hanya itu yang bisa ia lakukan mendengar kata-kata Bude, saudara satu-satunya dari Mama
Keesokan paginya
"Knock. knock.. Pagii.. Hei pasien, anda bisa pulang hari ini" Ifa datang dengan seorang suster yang dengan sigap memeriksa denyut nadi Amir dan setelah dipastikan kalau Amir sudah dalam kondisi baik, suster melepaskan selang infus dipergelangan tangannya
"Ifa, kan sudah aku bilang aku ngga punya uang untuk bayar" Suster sudah meninggalkan mereka
"Terus kamu mau tinggal sampai kapan? Semakin lama kamu di sini semakin mahal biayanya, sudahlah ayo pergi"
Amir mengikuti langkah Ifa keluar kamar
"Jadi siapa yang bayar?"
"Aku"
Amir menghadang langkah Ifa, wajahnya serius
"Maaf Ifa, tapi menurut aku kamu terlalu baik, aku bahkan tidak kenal kamu, kamu tiba-tiba datang dan.. menjadi malaikat penolong"
Lagi-lagi Ifa tersenyum, tidak tampak tersinggung akan ucapan Amir
"Kamu sudah aku anggap teman, jadi itu cukup untuk bersikap baik kepadamu" Ifa kembali melangkah menyusuri bangsal Rumah Sakit. Hari masih pagi tetapi sudah banyak orang berlalu lalang
"Tidak, itu tidak cukup!!" Amir kembali mensejajari langkah Ifa
"Lalu mau kamu apa?"
"Berapa total biayanya? Aku akan berusaha mengganti uangmu"
"Hffff... nih" Ifa menyerahkan bill dan sebuah kartu nama "Itu alamat dan nomer teleponku, kalau sudah punya uang hubungi aku" ia meninggalkan Amir, perasaan kecewa memenuhi rongga dadanya, sok jual mahal, padahal tadi malam nangis-nangis, huh.. terserah!! ia semakin mempercepat langkahnya
~~
"Kaka, kamu dari mana aja, koq baru pulang?" Nisa, adik semata wayang Amir tengah mengepak barang ketika ia sampai di rumah. Tanpa menjawab, ia menuju kamar Papa dan mengintip dari celah pintu yang terbuka, terlihat Papa sedang menggerak-gerakkan jari tangan dan kakinya
"Pa.."
"Eh Mir, masuk sini, kamu dari mana?" kata-kata Papa tidak sejelas biasanya, bibirnya agak miring ke kiri
"Dari rumah teman, cari lowongan kerja" suatu kebohongan yang diharapnya masuk dalam kategori White Lie, bohong yang diijinkan
"Terus?? Dapat?"
Amir menggeleng, ia merasa telah menjadi anak yang tidak berguna, padahal kedua orang tuanya sudah sangat baik dalam mendidik dan membesarkan ia dan Nisa. Ingatannya kembali kepada kenangan ketika sang Mama masih ada, mereka berempat tertawa bersama, menikmati liburan yang indah atau hanya sekedar duduk di ruang keluarga sambil bermain scrabble. Lalu tiba-tiba kenangannya menjelma menjadi seorang gadis cantik berjilbab biru, duduk di pinggir ranjang Rumah Sakit dan mendengarkan ceritanya dengan khidmat
"Oh iya, kenapa ngga kepikiran sampai ke situ ya?" tiba-tiba ia bergumam, dan beranjak dari duduknya, meninggalkan Papa
Di ruang tengah ia menghampiri Nisa
"Nis, aku sudah mencari pekerjaan ke mana-mana tapi ngga dapet, teruss.. aku punya ide, memang agak gila sih, tapi kalau berhasil ya lumayanlah bisa menghidupi kita bertiga untuk sementara" ia berkata tanpa jeda
"Hah? Apaan tuh?"
"Hemm.. tapi kamu jangan bilang Papa" lalu Amir membisiki Nisa
"Whatt?? Ka.. jangan gila doong, kita memang lagi susah banget, tapi ngga perlu sampai begitu juga" Nisa histeris mendengar rencana kakaknya
"Ssttt.. Ih berisik banget sih, ngga apa-apa Nis, I'll be fine. Dengan uang banyak kita bisa kontrak rumah, mengobati Papa, bikin usaha kecil-kecilan, dan kamu tetap bisa sekolah"
Nisa menggeleng, matanya berkaca-kaca
"Kamu koq bisa kepikiran seperti itu sih Ka?"
Amir tidak menjawab, yang sekarang ingin ia lakukan adalah makan yang banyak, tidur cukup dan kembali ke Rumah Sakit
"Ka.. kamu stres ya?" Nisa mengguncang bahunya, namun ia tetap bergeming
"Aku tahu kamu putus asa, tapi.. ngga harus dengan cara itu" lanjut Nisa
"Lalu harus dengan cara apa? Kita sudah tidak punya apa-apa untuk dijual, jual darahku? paling cuma cukup untuk makan beberapa hari. Sudahlah tidak usah dipikirkan. Aku masuk kamar dulu ya" Amir melangkah menuju kamarnya, meninggalkan Nisa yang kalut
]You Needed Me – Boyzone Song Lyrics
Saya nggak habis pikir. Pasti ini sesuatu yang buruk.
ReplyDeletedisaster *drama*
Deletemenanti kisah selanjutnya,, penasaran ni :D
ReplyDelete*berpikir keras untuk cerita selanjutnya*
Deletejangan keras-keras nanti hambar loh, :)
Deleteoh gitu ya mba.. :P
Deleteterus gimana kelanjutannya??
ReplyDeletehehehe... penasaran :)
hehe tar ya bumiil
Deletemasih berapa episode lagi mbak?
ReplyDelete1 atau 2 lagi boleh? :D
Deleteamir mau melakukan kerja apa... spoiler dong :D
ReplyDeleteHenry Carvil sudah aku jawab di reply yah :D
muup yaa ga ada bocoran, emang ujian hehe
Deleteiya udah aku balas lagi, thank uu
sepertinya sih memang promo The Ides Of March itu per wilayah, dulu film Hancock juga covernya, will smith pakai kacamata dgn siluet monas
Delete*cover temponya sudah aku upload ulang, tadi lupa upload
hah siluet monas? maksa banget hehe
DeleteAku malah fokus ke lagu you need me nya, nyeseek -_-
ReplyDeletebangeett, ini kan perasaannya si Amir ke... *eh ampir aja bocor
Deleteentar yah kak, saya buka bagian 1 nya dulu
ReplyDeletesilakan :)
DeleteEmang yah kalau udah kepentok jalan fikiran jadi kalut. Apapun asalkan kehidupan keluarga terpenuhi.
ReplyDeleteiyah, beruntunglah yang keluarganya baik2 saja :)
DeleteNah kaya gini nih, kan jadi makin panjang eaaaaa....
ReplyDeleteaku suka =)
PUASS?????
Deletegalak banget sih *ngga suka di gentak -____-
Deletehaloo, email ga di jawab nih
DeleteAmir mau ngelakuin itu?! Ah, gak mungkin bgt!! Masa' Amir mau jual diri? Bhahaha, tapi ngapaen dia pengen balik ke RS?? Cek ke skuel brikutnya... *tariknapas
ReplyDeletejangan lupa dibuang lagi napasnya hehe
Deletekalo lagi nulis fiksi begini, biasanya km dapat ide dari mana mbak? hmm... atau lagi melakukan apa gitu?
ReplyDelete*lagi pengen belajar nulis fiksi tapi mentok jendral*
:p
yang pasti harus hening hehe, kalo ide bisa dari mana aja mba, fiksiku ini idenya dari lagu backsoundnya, atau tentang berita apa aja, kaya kasus koboi palmerah tuh, bisa juga dijadiin fiksi yang ujung2nya ngeluarin pistol deh di pinggir jalan :)
DeleteIkutan nunggu kisah selanjutnya. Yooo Amir awas ya jangan bikin yg aneh2. *ngomong sama Amir*
ReplyDeletedikit anehnya boleh ya kakhhaa :D
Deletemakin tegang nih... masih saja berlanjut nih... sudah makin seru...
ReplyDelete:D
Deletehmmm tuh kan, makanya si amir gak nerima uangnya iezul, akhirnya melarat gitu deh...yang pnting tetap semangat ya amir, ke palestina aja amir terus jihad disana. hehehe
ReplyDeletemaunya sih ke palestina, tapi.. boleh ga yaa sama papa :P
Deleteaku paling gak bisa bikin cerber/cerpen... ceritaku udah complicated, hehehe...
ReplyDeleteMenurutku ke-complicated-an mu malah lebih mudah dijadikan novel mba :)
DeleteKelanjutan nya gimana nih? Kasih bocoran donk
ReplyDeletega ada bocoran, emang ujian heheh :P
Deletewakakakakakakak ... ngeseli, ngeselin, ini apa-apa nih, hiiiiiii #jedotin kepala ke bantal
ReplyDeletehuh, lagi-lagi di sambung, huuuuuu
kgkgkgkkgkgkk hadoh ngakak guling2, hihi muup dah :P
DeleteBikin pnasaran aja sob, lnjut dulu ke bagian 3 hehe...
ReplyDeletesok atuh, jangan lupa bawa kue #eh
Deleteaq dah baca bun..., ntr insya Allah lanjut ke bag. 3
ReplyDeletebtw aq suka istilah 'white lie' *smile
cukup suka ya, jangan dipake karena white lie adalah pembenaran hehehehhe
DeleteAku agak aneh part "sok jual mahal, padahal tadi malam nangis-nangis, huh.. terserah!! "
ReplyDeleteLah perasaan percakapan sebelumnya biasa aja deh, sok jual mahal part mananya? Hihihi gak ngerti wleeek :P
Mari lanjuuuttt
ada unce waktu di 2 paragraf terakhir :P
Delete