BUKAN PEMBERONTAK
“Tini
… bangun nduk, rumah kita sebentar lagi bakal dikepung,” seseorang mengguncang
tubuhku, perlahan aku membuka mata, mengedarkan pandangan dan merasa asing
dengan semua yang ada di sekitarku. Termasuk seorang ibu yang menggunakan
kebaya model lama lengkap dengan kain selutut dan sanggul cepol di kepala. “Ayo
bangun, kita harus pergi dari sini, bapakmu sudah ditangkap di desa sebelah. Kasihan,
padahal dia kan cuma guru ngaji.” Kini perempuan tua itu menangis tanpa aku bisa
berkata apa-apa.
“Sudah,
sudah si mbok tidak mau terus menangis, bapakmu memang sudah punya firasat
kalau hal seperti ini bakal terjadi, dan dia bilang si mbok harus membawamu
pergi dari sini. Kita naik kapal menyeberang Jawa, di seberang nanti ada pakdemu
yang menunggu. Ayo lekas, kenapa kamu diam saja seperti itu Tini. Kamu tidak
mau kan dibawa ke penjara? Kamu ingin meneruskan sekolah ke THS[1] dan menjadi
orang besar kan? Ayo!” Tanpa menunggu lama ia menarik tanganku, mau tak mau aku
bangkit dari tempat tidur yang ternyata hanya terdiri dari dipan kayu biasa
dengan kasur tipis di atasnya.
☼☼☼
“Apa
yang terjadi mbok?” Sambil mengendap-endap di antara rimbunan pepohonan aku
bertanya.
“Sttt
… pelankan suaramu, di sebelah sana ada yang sedang berpatroli.”
Di
kejauhan aku melihat beberapa tentara hilir mudik sambil menyandang senjata
laras panjang. Situasi ini mengingatkanku pada film penjajah yang dulu sering
aku lihat di televisi. Aku di masa itukah? Bagaimana bisa?
Setelah hampir satu kilometer kami berjalan, akhirnya kami tiba di sebuah rumah yang sebelumnya sudah diceritakan oleh si mbok, rumah pak Naryo. Si mbok mengetuk pintu dan diinterogasi secara singkat oleh orang dari dalam rumah, lalu kami dipersilakan masuk. Di dalam sudah berkumpul banyak orang dengan tujuan yang sama, yaitu keluar dari pulau Jawa.
“Sabar
ya nduk, bapakmu itu orang baik, dia bukan pengkhianat apalagi pemberontak.”
Seorang ibu yang kemudian aku ketahui bernama bu Laksmi mendekatiku, mengusap
lenganku dengan tatapan penuh empati. Dari orang-orang inilah aku mulai
merangkai cerita akan apa yang sedang terjadi, bahwa aku adalah anak dari
seorang guru ngaji di pinggiran Jakarta, yang dituduh akan melakukan makar[2].
Pemerintah menilai kalau ayahku termasuk dalam pemberontak yang ingin
menggulingkan pemerintahan pada masa itu. Mendengarnya saja aku takut,
bagaimana bisa negeri ini, yang baru saja merdeka dari penjajah kini rakyatnya
diburu karena rasa takut yang berlebihan oleh penguasa. Tidakkah mereka lupa
bagaimana kami berjuang dengan harta dan jiwa untuk meraih kemerdekaan? Tapi
lalu kami dibungkam karena menyuarakan pendapat?
“Besok
pagi-pagi sekali kita berangkat, sekarang beristirahatlah. Perjalanan kita
masih panjang.” Suara pak Naryo membuyarkan lamunanku. Aku tak ingin ikut
mereka, aku harus pulang karena rumahku memang bukan di sini, bukan di zaman
ini. Yang aku tahu aku terperosok ke dalam sumur tua di belakang kampus ketika
aku dan mahasiswa baru yang lain sedang mencari berbagai macam bentuk batu dan
bunga atas perintah kakak senior.
☼☼☼
Aku keluar rumah setelah
dua jam menunggu semua orang tertidur lelap. Aku
tidak menemukan senter atau memang di zaman ini belum ada senter? Entahlah,
namun yang pasti aku berjalan dalam gelap, sambil mengira-ngira jalan mana yang
tadi sore aku lewati bersama si mbok. Perjalanan kali ini aku rasa lebih lama tapi
aku tak peduli, walau kakiku sudah perih karena tertusuk semak berduri. Aku hanya
bersyukur tidak menemukan binatang malam di rimbunnya pepohonan.
Hhh
… akhirnya sampai juga ke rumah ini, aku mulai mengitari halaman belakang
untuk mencari sumur. Sumpah aku sebenarnya tidak percaya akan perjalanan
menembus waktu, tapi saat ini hanya itulah yang terbersit dalam benakku. Dan
sepertinya Tuhan mendengar doaku, di antara dua pohon beringin aku melihat
sumur yang sepertinya masih dipakai, tapi mudah-mudahan itu teleport[3]ku ke masa depan.
“Berhenti!”
Aku
berbalik dan melihat beberapa tentara keluar dari rumah, tapi aku tidak
berhenti, sambil berjalan mundur aku mendekati sumur itu.
“Berhenti
atau saya tembak!” Salah satunya berbicara dengan lantang. Apakah ia
benar-benar akan menembakku? Aku lebih peduli dengan sumur yang akan membawaku
pergi dari sini.
Dorr
…
Aku
merasakan timah panas menembus bahuku.
“Berhenti!”
Tentara lain mulai meneriaki dan memasang posisi menembak dari sudut lain, aku menoleh dan tak
berhenti ketika ku lihat jarakku dengan sumur hanya beberapa langkah saja. Lalu aku
memutuskan untuk berlari diantara rasa sakit karena peluru.
Dorr
… dorr …
Salah
satu tembakan itu mengenai kakiku, jangan kau tanya bagaimana sakitnya karena
ini sangat menyakitkan, aku terhuyung dan tercebur ke dalam sumur.
☼☼☼
“Dilla
… Ya Allah kamu kenapa? Kok tiba-tiba berdarah seperti ini? Toloongg … Kakak
senior toloongg.” Aku membuka mata dan melihat Mia di sampingku, sudah
kembalikah aku ke masaku? Ah syukurlah.
“Astaghfirullah,
ada apa ini?” Kak Bagas berlari mendengar teriakan Mia, lalu ia memanggil yang
lain untuk membawaku, dan ku dengar salah seorang kakak senior menelpon
ambulans.
________________________
[1] THS : Technische Hooge School, sekarang Institut Teknologi Bandung - ITB
[2] Makar bisa dikatakan sebagai pemberontakan terhadap pemerintah yang
sah, dalam hal ini pemerintah yang dimaksud adalah kepala negara atau
Presiden dan Wakil Presiden
[3] Teleport adalah benda yang digunakan untuk mengirimkan orang atau sesuatu ke tempat lain, menembus ruang dan waktu
Mumpung sepi dipertamaxin dulu... xixixixi...
ReplyDeleteKok ga ada perubahan diblog ini ya? hahahaa...
eh mba boleh curhat dikit ngga?
Aku tuh males kalau baca cerita yang panjang kaya gini coz ga hobi baca cuma hobi nulis, hehehehee.
sama fahmiii aku juga ga suka baca postingan yang panjang2 :))... tooosss :P
Deleteya ealaah emangnya kamu jago gonta ganti tema :P
Hahahaaa... *tos*
Deletega jago kok mba, mba klo mw minta tolong buat ganti tema atau design insya allah fahmi bisa bantu koqq :D
beneran? asiikkk, mau bangeetttt *love love deh matanya*
Deleteboleh juga ya kalo ada sumur itu. tapi koq setting di balik sumur itu yang mengerikan. ada peluru segala. coba kalo diganti jadi istana coklat bertabur bidadari, bakalan banyak tu yang nyemplung nggak pengin balik, haha..
ReplyDeletewedewww kaga usah keluar deh dari sumur kalo kaya gitu mah hehe
Deleteini cerita seperti di film saja ya ? bisa menembus ruang waktu di masa lalu.
ReplyDeletekaya Quantum Leap ya kalo ga salah judulnya
Deletelama tidak mampir kesini :)
ReplyDeletewah ceritanya masuk ke dimensi waktu yang berbeda ya.... wah harusnya kalau di kejadian di dunia lain, dibawa ke masa sekarang lukanya masih ada dong ya... tersisa gitu ya... apalagi luka tembak...
ReplyDeleteceritanya bagus...
masih ada koq, di paling akhir dia kembali ke kampusnya sambil berdarah2 :)
Deletebercerita masa lalu , ,jadi ingat kenang"an dulu sama teman"#smile
ReplyDeleteciee yang punya temen #eh
Deleteeh kok balik ke masa lalu/depan musti nyemplung sumur dulu? kenapa ga pakai mobil kayak film back to the future :D
ReplyDeleteback 2 d future itu kayanya film lamaaaa banget ya, dan aku belom nonton full :D
DeleteWah, ceritanya nih kayaknya terinspirasi inuyasa ya sob? masuk kesumur dulu kalau mau pindah waktu hehehe
ReplyDeleteinuyasa itu yang mana ya? kalau ngomongin sumur sih aku ingetnya sama film Sadako, hiyyyyy sereeemm
Deletebukan pemberontak , saya juga bukan pemberontak mbak ...wkwkwkwkwk
ReplyDeleteceritanya serasa kayak difilm-film , pake nyebur ke sumur dulu ....
abis kalo nyebur ke laut kejauhan :P
DeleteMakin rapi tulisannya kak! Asiiiik! :)
ReplyDeleteSeruu ceritanyuaaa
Asyiiiiiiiiik ;D
Deleteaaasssiiiiiiiikkkkkkkk
DeleteAlhamdulillah. Akhirnya selesai juga nyimaknya. Panjang banget mbak.
ReplyDeletemaaf deehhhh :)
DeleteSama kayak komentar pertamaX diatas,,
ReplyDeletekalau panjang2 aku mls baca kecuali bacanya lewat Buku :)
salam kenal ya mba,,,
kunjungan pertamaku neh ^_^
ok thanks
Deleteoh, kirain THS itu This House Should, kayak yg ada di motion debate gitu :p
ReplyDelete*salahfokus* salahbanget*
debat yang mana nih dince?
Delete*kasih nilai nol besar pake spidol merah karena salah sesalah salahnya*