(Kisah Ust Syafril Murid Abu Sulaiman - Memilih jadi Da-i pedalaman
Hampir semua teman saya berebut mendaftar jadi PNS. Mereka pun bertanya- tanya: “Kenapa dilepaskan peluang emas itu?” “Saya tidak tergiur,” itu jawaban yang bisa saya jawab. Bukan apa-apa, bagiku ada yang lebih mulia dan menantang dari sekedar jadi PNS dengan gaji tetap dan pensiunan terjamin. Apalagi, adanya kenaikan gaji guru serta tunjangan sertifikasi.
Sebuah idealisme untuk menjadi seorang ustad dan dai. Aneh bagi banyak orang memang. Tapi itulah diriku. Gila dan bodoh, mungkin umpatan itu yang akan dikatakan kebanyakan orang ke pada saya.
Bagaimana tidak? Peluang emas sudah ada di depan mata, justru saya biarkan begitu saja. Padahal, di luar sana, begitu banyak orang sibuk mencari kerja.
Tiap hari, hampir ada saja cerita sarjana yang menganggur dan akhirnya hanya jadi pekerja serabutan.
Saya sendiri, selepas kuliah bahasa inggris di sebuah perguruan tinggi swasta ternama di kota Pempek, Palembang tak mengajukan secarik lamaran pekerjaan pun. Apalagi mendaftar jadi pegawai PNS, tak terbersit sedikitpun di hatiku.
Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), peluang jadi PNS masih sangat terbuka lebar. Tingkat sarjana di daerah ini belum begitu signifikan seperti di Jawa.
Bahkan, suatu saat, saya bertemu dekan fakultas bahasa Inggris yang pernah menjadi dosen pembimbing skripsiku. Dengan dijadikan dosen, tentu dengan peluang lainnya, setidaknya dapat beasiswa.
Saya pun mulai menjalani sebagai guru madrasah di sebuah pesantren merangkap sebagai pengasuh. Pesantren yang terletak di Kec Rambutan itu menampung santri yang tidak mampu. Mereka datang dari berbagai tempat di sekitar Palembang. Tak jarang juga yang berasal dari daerah transmigrasi. Di pesantren ini hanya ada MTs dan SMA. Untuk SMA hanya baru menerima santri putri, karena masih terkendala gedung sekolah.
Saya tak perduli tentang dosen, karir, PNS atau jabatan lainnya. Bagiku, mengabdi di pesantren ini lebih dari cukup.
Makan seadanya dan honor tak seberapa. Bahkan, terkadang jika uang operasional sekolah minus, saya tak mendapat honor. Pesantren yang saya tempati pun jauh dari hiruk pikuk kota. Sepi dan sunyi. Sekitarnya hanya hutan karet. Meski demikian, saya merasakan telaga kebahagiaan yang selalu mengisi relung kalbuku. Ketika melihat antusiasme mereka belajar dan mengaji al-Qur’an, serasa melihat padi yang sedang menguning di hamparan sawah yang luas. Indah memesona.
Apalagi jika memimpin mereka bersujud di sepertiga malam yang senyap, ada kebahagiaan yang tak terlukiskan, lebih indah dari sekadar gemerlap malam yang indah oleh temaram bulan dan bintang.
Meski lauk makan hanya tempe, tahu, kecambah, kangkung, daun singkong dan ikan asin, tapi karena makan bersama-sama jadi terasa nikmat. Lebih nikmat dari sekedar pizza, fried ckicken, ayam panggang dan makanan lezat lainnya, yang biasa menjadi makanan orang Jakarta dan orang kota. Bagiku, makan kangkung di tempat itu, tak ternilai, jika hanya dibandingkan dengan fried chicken atau pizza.
Saya tak menyesali keputusan ini. Saya rela dianggap bodoh oleh orang banyak. Saya hanya seorang guru kecil di pesantren kecil dan terpencil. Saya hanya berharap kemuliaan di hadapan Allah SWT.
Ya, saya hanya berharap terpilih menjadi “orang besar” di mata Allah, ketimbang jadi orang besar di mata manusia.
semoga kita dapat mengambil Ibroh dari cerita diatas
No comments:
Post a Comment
leave ur track so i can visit u back :)