29.11.11

Hidupnya Hanya Ingin Bersama Allah SWT

-Pengajian Bang Jampang-

(Kisah Ust Syafril Murid Abu Sulaiman - Memilih jadi Da-i pedalaman

Hampir semua teman saya berebut mendaftar jadi PNS.  Mereka pun bertanya- tanya: “Kenapa dilepaskan peluang emas itu?” “Saya  tidak tergiur,”  itu jawaban  yang bisa saya jawab. Bukan apa-apa, bagiku  ada yang lebih mulia dan  menantang dari sekedar jadi PNS dengan  gaji  tetap dan pensiunan terjamin.  Apalagi, adanya kenaikan gaji guru serta  tunjangan sertifikasi.

Sebuah  idealisme untuk menjadi seorang ustad dan dai. Aneh  bagi banyak orang  memang. Tapi itulah diriku. Gila  dan bodoh, mungkin umpatan itu yang akan dikatakan kebanyakan orang ke pada saya.

Bagaimana tidak? Peluang emas sudah ada di depan mata, justru  saya biarkan begitu saja. Padahal, di luar sana, begitu banyak orang  sibuk mencari kerja.

Tiap hari, hampir ada  saja cerita sarjana yang menganggur  dan akhirnya hanya jadi pekerja serabutan.

Saya sendiri, selepas  kuliah bahasa inggris di sebuah perguruan tinggi swasta ternama di kota Pempek, Palembang tak mengajukan secarik lamaran pekerjaan  pun. Apalagi  mendaftar jadi pegawai PNS, tak terbersit sedikitpun di hatiku.

Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), peluang jadi PNS  masih  sangat terbuka lebar. Tingkat sarjana di daerah ini belum begitu  signifikan  seperti di Jawa.   

Bahkan, suatu saat, saya bertemu  dekan fakultas bahasa Inggris yang pernah menjadi dosen pembimbing  skripsiku. Dengan  dijadikan dosen, tentu dengan peluang lainnya, setidaknya dapat  beasiswa.

Saya  pun mulai menjalani sebagai guru madrasah di sebuah pesantren merangkap  sebagai pengasuh. Pesantren yang terletak di Kec Rambutan itu menampung  santri yang tidak mampu. Mereka datang dari berbagai tempat di sekitar Palembang. Tak jarang juga yang berasal dari daerah transmigrasi. Di pesantren ini hanya ada MTs dan SMA. Untuk SMA hanya baru menerima santri putri, karena masih terkendala gedung sekolah.

Saya  tak perduli tentang dosen, karir, PNS atau jabatan lainnya. Bagiku, mengabdi di pesantren ini lebih dari cukup.

Makan seadanya dan honor tak seberapa. Bahkan, terkadang jika uang operasional sekolah minus, saya tak mendapat honor. Pesantren yang saya tempati pun jauh dari hiruk pikuk kota. Sepi dan sunyi. Sekitarnya hanya hutan karet. Meski demikian, saya merasakan telaga kebahagiaan yang selalu mengisi relung kalbuku. Ketika melihat antusiasme mereka belajar dan mengaji al-Qur’an, serasa melihat padi yang sedang menguning di hamparan sawah yang luas. Indah memesona.

Apalagi jika memimpin mereka bersujud di sepertiga malam yang senyap, ada kebahagiaan yang tak terlukiskan, lebih indah dari sekadar gemerlap malam yang indah oleh temaram bulan dan bintang.  

Meski lauk makan hanya tempe, tahu, kecambah, kangkung, daun singkong dan ikan asin, tapi karena makan bersama-sama jadi terasa nikmat. Lebih nikmat dari sekedar pizza, fried ckicken, ayam panggang dan makanan lezat lainnya, yang biasa menjadi makanan orang Jakarta dan orang kota. Bagiku, makan kangkung di tempat itu, tak ternilai, jika hanya dibandingkan dengan fried chicken atau pizza.  

Saya tak menyesali keputusan ini. Saya rela dianggap bodoh oleh orang banyak. Saya hanya seorang guru kecil di pesantren kecil dan terpencil. Saya hanya berharap kemuliaan di hadapan Allah SWT.

Ya, saya hanya berharap terpilih menjadi “orang besar” di mata Allah, ketimbang jadi orang besar di mata manusia.  



semoga kita dapat mengambil Ibroh dari cerita diatas happy


No comments:

Post a Comment

leave ur track so i can visit u back :)

Friends *ThankU ;)