“Samba... Samba... Samba....” Marsya dan Fasia terus menerus mengulang kata ‘Samba’. Mereka ingin diceritakan dongeng itu kembali.
“Memangnya belum bosan? Bunda saja sudah.” Bunda melipat tangan di dada, matanya silih berganti melihat ke kedua anak putrinya.
“Sekali lagi Buunn....”
“Iyaa sekaliii lagi.” Fasia mengikuti kata-kata saudara kembarnya. Mereka tidur di kamar yang sama dengan ranjang terpisah.
“Hmm baiklaah anak-anak Bunda yang shalehah. Sekali ini saja ya karena sebenarnya Bunda mempunyai dongeng lain yang tidak kalah bagusnya.”
Kedua anak itu bertepuk tangan senang.
“Samba adalah sebuah desa yang berada di tengah hutan terpencil. Penduduknya pun ukurannya kecil-kecil. Tahukah kalian siapa mereka?” Bunda duduk di tepi ranjang.
“Belalaang.” Sahut mereka bersamaan.
“Benar,” bunda melanjutkan, “tapi bukan sembarang belalang melainkan belalang-belalang dengan warna yang cantik. Ada yang berwarna pelangi, ada yang hijau seperti belalang pada umumnya namun ada juga yang kuning keemasan yaitu keluarga sang raja belalang. Hidup mereka sangatlah damai. Daun, bunga, rumput dan segala macam makanan tersedia, makanya tidak heran kalau tubuh mereka gemuk-gemuk dengan pipi yang tembam.”
Fasia dan Marsya tertawa melihat Bunda yang menggembungkan pipi.
“Di antara belalang-belalang itu ada tiga ekor belalang yang berusia muda. Nama mereka adalah....”
“Poni, Pika, Puluu.” Kali ini Marsya lebih dulu menjawab daripada Fasia.
“Iya benar sekali, mereka adalah anak-anak dari sang raja belalang. Oleh karena itulah kulit mereka berwarna keemasan seperti sang raja. Di suatu siang Poni, Pika dan Pulu baru saja menyelesaikan latihan terbang mereka ketika Poni berkata ‘Hei saudaraku bagaimana kalau kita berlomba terbang?’ Poni merasa lebih hebat daripada kedua saudaranya itulah sebabnya setelah kepergian Doan si pelatih Poni langsung menantang Pika dan Pulu.
‘Ah tidak mau, aku mau pulang saja. Kaki dan sayapku pegal sekali.’ Kata Pika sambil bersandar di sebuah bunga.
‘Huuuh dasar lemah, baru begitu saja sudah pegal. Bagaimana denganmu Pulu? Apa kamu menyerah juga?’ Kata Poni sombong.
‘Boleh-boleh saja tapi alangkah lebih baiknya kalau kita beristirahat sebentar.’ Dan jawaban Pulu disetujui oleh Poni, selama beberapa saat mereka merebahkan diri di atas daun-daun berukuran besar sambil menikmati semilir angin yang sangat sejuk.
Hampir saja Pulu tertidur ketika Poni berseru, ‘Hei Pulu sudah cukup bukan istirahatnya? Marilah sekarang kita berlomba. Siapa yang terbang paling jauh menjadi pemenangnya dan yang kalah akan diberitakan ke seluruh desa.’ Dengan berat Pulu membuka mata, sebenarnya ia tidak ingin menerima tantangan Poni tapi Poni adalah seekor belalang yang berkemauan keras.
‘Baiklah, akan terbang ke mana kita?’
‘Ke utara.’ Poni menunjuk ke arah utara.
‘Jangan ke sana!’ Pika berseru takut, ‘ada manusia di sana. Nanti kalian ditangkap!’
‘Haha ya tentu saja ada manusia. Di utara itu kan tempat tinggal mereka. Lihat saja kastil-kastilnya.’
‘Pika benar, kita terbang ke selatan saja.’
‘Ke arah pantai? Aku tidak mau! Ayo cepat Pulu dalam hitungan ketiga aku sudah akan terbang dan kamu pasti tidak mau tertinggal kan?’ Poni menunduk sedikit, sayapnya mengepak pelan. ‘Setelah sampai di kastil pertama barulah boleh terbang kembali ke sini. Pika yang menjadi jurinya.’ Keinginan Poni sudah tidak bisa dicegah dan Pulu tidak mau kalah dalam perlombaan ini, bisa-bisa ia nanti dijelek-jelekkan ke seluruh desa.
‘Satu....’
‘Tunggu! Biar aku yang menghitung.
‘Baiklah Pika, cepatlah hitung.’
Pika menghitung sampai tiga dan melihat kedua saudaranya itu terbang melesat. Kepakan sayap mereka perlahan hilang di kejauhan.
‘Poni kamu tidak lelah?’
‘Haha kamu ingin menipuku ya Pulu?’
Padahal Pulu tidak ingin menipu Poni, Pulu hanya kasihan melihat Poni yang sudah terlihat lelah. Tubuh Poni lebih gemuk dari Pulu, keringat sudah mengucur dan terbangnya pun mulai melambat. Beberapa kali ia merendah tapi kemudian memaksakan diri untuk kembali terbang tinggi.
‘Bagaimana kalau kita beristirahat dulu setelah itu kembali melanjutkan menuju kastil?’
‘Tidak mau!’ Poni mendahului Pulu. Mereka baru setengah perjalanan menuju kastil. Tanpa Pulu ketahui bahwa Poni memang merasa sangat lelah tapi ia terlalu gengsi untuk mengatakan itu. Ia tidak mau kalah dari Pulu. Apalagi kalau ayah mereka sampai tahu.”
“Sang raja jahat ya Bun?” Fasia menyela cerita Bunda.
“Tidak sama sekali. Raja saaangat baik oleh karena itu lah Poni ingin selalu tampil baik pula di mata ayahnya. Ia terus saja terbang padahal sudah pegal dan tiba-tiba sayapnya menjadi kaku lalu ia terjatuh ke tanah. Pulu yang terbang di belakangnya tentu saja melihat hal itu maka ia pun menyusul Poni yang terjatuh di atas gundukan daun-daunan yang sudah kering.
‘Poni kamu kenapa?’
‘Aduh sayapku tidak bisa digerakkan.’
‘Yaah bagaimana ini? Kamu sih memaksa untuk terus terbang.’
Di antara kepanikan mereka terdengar suara-suara. Derap kuda dan tawa.
‘Pulu kamu harus menarikku. Sepertinya ada manusia yang lewat sini.’
Dengan susah payah Pulu menarik Poni tapi Poni justru terjebak dalam timbunan daun padahal suara-suara itu semakin mendekat. Kaki Poni menendang daun-daun agar ia bisa keluar dari sana namun usahanya sia-sia.
‘Psstt jangan begitu, lebih baik kamu bersembunyi di bawah daun.’ Pulu mulai menutupi tubuh Poni, sedetik kemudian ia terbang ke balik pohon.
‘Semoga malam ini tidak hujan jadi kita bisa berpesta sampai puas hahaha.’
‘Benar saudaraku. Kita makan sampai kenyang.’
Salah seorang pejalan kaki menarik kuda yang membawa seekor rusa hasil berburu mereka. Lalu si kuda meringkik, berhenti tepat di depan timbunan daun.
‘Kenapa kamu berhenti?’ Tanya pejalan kaki itu dengan kesal. Kemudian pandangannya mengikuti pandangan sang kuda yang melihat ke arah timbunan daun. Ada sesuatu yang berkilap di sana.
‘Apa itu?’ Tanya temannya.
‘Emas?’ Si pejalan kaki berlutut, ia menyingkirkan daun-daun yang hanya menutupi sedikit tubuh Poni. ‘Belalang?’ Katanya sambil mengangkat Poni.
‘Bagus sekali! Baru kali ini aku melihat belalang berwarna kuning emas. Wahahaha kita bisa jual ke Raja, dia pasti dengan senang hati akan membelinya.’
“Iya betul sekali, pangeran pasti ingin memiliki belalang cantik ini. Hahahaha.’
Poni dimasukkan ke dalam botol yang sudah kosong dan dua orang itu kembali melanjutkan perjalanan menuju kerajaan. Meninggalkan Pulu yang tidak tahu harus berbuat apa.”
“Kasihan sekali Poni.”
“Tapi kan salah dia sendiri, coba kalau dia tidak sombong mengadakan lomba terbang kan dia tidak akan tertangkap.”
Pada bagian ini Marsya dan Fasia biasanya menghentikan cerita Bunda lalu mereka berdebat.
“Iya sih dan lagi seharusnya sebelum terbang jauh dia melakukan pemanasan dulu ya Bun. Aku saja kalau mau berenang pasti pemanasan dulu, berlari-lari atau melompat-lompat.”
“Iya sayang. Sekarang ceritanya mau diteruskan atau....”
“Teruskan doongg.” Mereka kembali kompak.
“Baiklah. Setelah beberapa saat Pulu memutuskan untuk mengikuti mereka karena toh percuma kalau Pulu kembali ke desa Samba untuk meminta bantuan tanpa mengetahui di mana Poni berada. Akhirnya setelah perjalanan yang melelahkan tibalah mereka di kerajaan. Setelah kedua orang itu memasukkan kuda ke kandang dan menyimpan rusa hasil buruannya, mereka bergegas menuju istana raja.
Ternyata raja, permaisuri apalagi pangeran sangat senang dengan Poni, ini pertama kalinya mereka melihat belalang yang unik. Kedua orang tadi pergi setelah mendapat bayaran dan Poni dalam botol kaca langsung dibawa oleh pangeran ke kastilnya.
Dari balik jendela Pulu mendengarkan semuanya. Setelah itu dengan secepat kilat Pulu terbang kembali ke desanya tanpa menghiraukan rasa lelah, ia hanya berdoa semoga sayapnya tidak menjadi kaku seperti Poni.
Langit sudah senja ketika Pulu tiba. Pika yang sudah menunggunya sejak lama langsung mendekat.
‘Kenapa kalian lama sekali! Mana Poni?’
Pulu tidak langsung menjawab karena sangat kelelahan.
‘Pulu apa yang terjadi? Kenapa kamu cemas?’ Pika melihat sayap Pulu yang bergetar pertanda ada sesuatu yang dicemaskan oleh Pulu.
‘Kita harus memberitahu ayah.’
‘Haahh... kenapa?’
Dengan singkat Pulu menjelaskan dan setelah itu barulah mereka memasuki desa samba untuk menemui ayah mereka.
‘Nanti malam kita akan berangkat menuju kastil untuk menjemput Poni.’ Prajurit belalang berkata lantang.
‘Aku ikut.’ Kata Pulu yang kemudian dibantah oleh sang ayah.
Pulu memang sudah terlalu lelah untuk kembali melakukan perjalanan maka ia menyetujui kata-kata ayahnya untuk tetap berada di Samba. Waktu terasa lambat berlalu, kunang-kunang sudah beterbangan, katak bersahutan dan burung hantu pun telah bercokol di batang pohon namun Poni serta prajurit-prajurit penyelamat itu belum juga kembali.
Bulan semakin tinggi, angin dingin menerpa Pika dan Pulu yang bertengger di atas daun. Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara sampai Pika melihat sesuatu.
‘Lihat!’ Dari kejauhan nampak cahaya keemasan menembus gelapnya hutan. Cahaya keemasan itu memantulkan cahaya-cahaya pelangi di belakangnya. Mereka selamat.”
“Yeaayy...” Marsya dan Fasia bertepuk tangan.
“Tapi... bagaimana cara prajurit itu menyelamatkan Poni Bun?” Dongeng Desa Samba sudah sering diceritakan tapi baru kali ini pertanyaan itu terlontar.
“Para prajurit itu menghancurkan botol kaca tempat Poni disekap kemudian dengan segera mereka terbang keluar dari istana dan menuju Samba.”
“Ooo begitu.” Marsya nampak puas dengan jawaban Bunda.
“Aku tidak ingin seperti Poni yang nakal, gara-gara Poni semua belalang menjadi cemas.” Kata Fasia dengan bijaksana.
“Betul sekali anak shalehah. Kita tidak boleh sombong karena kesombongan bisa mencelakakan diri sendiri bahkan mencelakakan yang lain. Baiklah sekarang waktunya kalian tidur. Selamat malam sayang, jangan lupa membaca doa ya.”
Marsya turun dari ranjang Fasia lalu naik ke tempat tidurnya sendiri.
Bersama-sama kedua anak kembar itu melafadzkan doa-doa sebelum tidur. Dalam pejaman mata mereka bunda yakin kalau mereka masih mengingat cerita tadi dan dapat mengambil hikmahnya.
oOo
No comments:
Post a Comment
leave ur track so i can visit u back :)