“Aku tidak suka hujan. Hanya mengingatkanku pada hari di mana ibu menangisi ayah. Saat itu hujan lebat ayah justru keluar rumah, tak pernah kembali. Ibu ingin mencari tapi hujan menghalangi.
Aku tidak suka hujan. Karena membuat rumahku basah. Sebenarnya bukan rumah kami, tapi rumah kontrakan yang sudah bertahun-tahun dihuni. Bocor. Si pemilik rumah tidak ingin memperbaiki. Di rumah ini pun tidak ada yang memperbaiki. Ibu tak bisa. Aku tak berani. Kami hanya sibuk melipat kasur dan merapikan barang-barang di lantai lalu meletakkan di atas meja atau lemari. Hujan di luar, hujan pula di dalam.
Aku tidak suka hujan. Suara gunturnya menakutkan. Petirnya menggelegar laksana ingin menyambar siapa saja yang berada di dekatnya. Kilatnya terlihat dari jendela yang tidak bergorden, membuatku takut tapi urung untuk menangis. Ibu sibuk menadahkan air dengan ember sambil mengepel lantai yang sudah tergenang. Aku meringkuk bersama adik di atas sofa pemberian tetangga yang busanya sudah tidak ada.
Aku tidak suka hujan. Membuatku semakin cepat lapar, padahal jatah makan hanya dua kali sehari.
Aku tidak suka hujan. Selimut kami sangat tipis, ukurannya kecil. Tersingkap di kaki ketika ibu tarik untuk menyelimuti adik. Membuatku terbangun dan kedinginan.
Aku tidak suka hujan. Cucian tetangga jadi lebih lama kering, itu artinya upah mencuci ibu jadi terlambat. Padahal tiap sennya sangat kami butuhkan untuk menyambung hari. Terpaksalah porsi makanku dikurangi.
Aku tidak suka hujan. Tidak bisa bermain di luar. Terperangkap dalam petak yang sempit. Kami pun tidak punya televisi, hiburanku hanya adik dan tetesan air hujan dari lubang di atap.
Ya Tuhan... apakah aku salah karena tidak suka hujan? Maafkan aku.”
Riandra masih menunduk setelah selesai membaca tulisannya namun perlahan ia mengangkat wajah ketika mendengar tepuk tangan.
“Bagus Ri, bacaanmu penuh penghayatan.”
“Terima kasih Bu.” Riandra menyerahkan kertas itu dan kembali ke tempat duduk. Ibu guru Mita kemudian memanggil siswa lain untuk membaca narasi. Tadi, siswa kelas dua belas mendapat tugas untuk menulis narasi yang bertema Hujan dan langsung dibacakan oleh siswa yang lain. Sekilas Riandra melihat nama si penulis di belakang lembaran yang ia baca. Sigit.
~o~
“Git...” Ia mensejajarkan langkah Sigit. “Tulisanmu tadi... kenapa muram begitu.”
“Ah masa sih? Biasa saja, kamu nya mungkin yang sedang sensitif.”
“Haha, baper maksudmu? Bawa perasaan.”
Sigit hanya tersenyum. Di kelas Sigit memang pendiam dan kurang bergaul, tidak seperti Riandra yang supel dan mempunyai banyak teman. Tapi menurut Riandra Sigit adalah seorang pengamat lingkungan, ia pun saingan Riandra dalam berprestasi di kelas.
“Jadi... tulisanmu itu hanya sekedar tulisan?”
“Di luar sana banyak orang yang bernasib seperti di tulisanku Ri, andai kamu mau lebih memperhatikan.”
Jawaban Sigit menyentak Riandra, “Mak-sud-nyaa?” Entah kenapa ia agak sedikit tersinggung.
“Tidak ada maksud apa-apa. Aku salah bicara? Maaf ya. Dagh Ri.” Sigit berbelok menuju parkiran, Riandra masih ingin membahas namun klakson mobil mengurungkannya.
“Hai sayaang.” Mama membuka jendela mobil, Riandra berlari kecil memasuki mobil dan langsung memasang safety belt. Ia sempat menengok dan melihat Sigit yang mulai mengendarai sepeda fixienya. Mereka beradu pandang.
~o~
Kata-kata Sigit masih terngiang sampai keesokan hari. Jiwa kritis Riandra membuatnya datang pagi-pagi dan menunggu Sigit datang, ia ingin tahu lebih banyak sebelum pelajaran dimulai.
“Sigit.”
“Iya.” Jawab Sigit datar.
“Aku masih ingin tahu yang kemarin, ceritakan lebih banyak doong....”
Beberapa orang teman sekelasnya lewat dan memandang heran pada Riandra yang sebelumnya jarang sekali berbicara dengan Sigit.
“Hmm tidak seru kalau diceritakan. Lebih baik nanti sore sepulang sekolah kamu ikut aku.” Kata Sigit masih dengan wajah datar.
Alhasil seharian itu dilewati Riandra dengan tidak konsentrasi pada pelajaran. Ia bertanya-tanya mau dibawa kemana nanti oleh Sigit. Ke bawah jalan layang tempat biasanya para pemulung tinggal kah? Atau ke tempat pembuangan sampah yang dijadikan hunian seadanya? Tapi dugaannya meleset karena mereka pergi tidak terlalu jauh, hanya memutari perumahan Riandra di belakang tembok tinggi yang menjadi pemisah antara rumah si kaya dan si miskin, perbedaan kontras antara rumah berlantai dua dengan jendela warna ungu lavender dengan rumah reot bercat putih yang sudah mengelupas dan berubah warna menjadi abu-abu kusam.
“Itu kan... rumah ku.” Jendela ungu lavender bergoyang tertiup angin. Riandra memang sengaja membuka jendela kamarnya agar sirkulasi udara tetap lancar, toh jendela itu dipasangi teralis jadi tetap aman.
“Iya itu memang rumahmu dan ini rumah dalam tulisanku.”
Sigit menatap lurus, seorang bocah laki-laki berjalan pincang menuju ke arah mereka sambil menggendong bayi.
Riandra tercekat. Kata-kata dalam tulisan Sigit berkelebat dalam ingatannya.
“Haloo Kak Sigit.”
“Haai Assalamu’alaikuum.” Sigit tersenyum, hal yang jarang dilihat Riandra.
“Kakak membawa teman nih, namanya Kak Riandra.” Tanpa canggung Sigit mengambil bayi dari gendongan si bocah.
“Halo Kakak Riandra.”
“Haai....” Riandra menyambut uluran tangan si bocah, “nama kamu siapa?” Sekuat tenaga ia tidak menangis.
“Farlon.” Katanya sambil tersenyum lebar, seperti tidak ada beban dalam dirinya tidak juga kaki pincang dan kondisi rumahnya.
Andai kamu mau lebih memperhatikan... Kata Sigit kemarin terngiang kembali.
~o~
“Jadi kamu tidak suka hujan?” Dalam kunjungan kedua mereka Riandra membawa banyak pakaian, makanan dan mainan. Sebenarnya Sigit kurang menyukai itu karena ia tidak ingin kalau Farlon sampai berpikir bahwa dengan kondisinya ia bisa mendapatkan belas kasihan dari orang lain, bukankah itu yang memicu fakir miskin untuk mengemis? Begitu katanya yang dibantah oleh Riandra kalau apa salahnya dengan memberi?
“Eee...” Farlon menunduk, “Habisnya hujan membuat kami susah.”
“Huss tidak boleh berbicara begitu Farlon, hujan itu rahmat airnya pun amat bersih makanya bisa membuat subur tanah dan tanah yang subur bisa ditanami apa saja seperti padi, jagung, sayuran. Kalau hujan tidak turun nanti tanahnya menjadi gersang dan tumbuhan mati terus kita makan apa?”
“Iya Kak Sigit tapi rumahku bocor kalau hujan. Tidak seperti rumah itu.” Farlon mendongak ke arah rumah Riandra, membuat Riandra menjadi kikuk. “Enak tinggal di sana.” Katanya lagi.
“Kok bisa tahu kalau tinggal di sana enak?” Sigit bertanya sambil melirik Riandra.
“Iya kadang-kadang aku mendengar suara musik dari kamar itu.” Farlon menunjuk tepat ke arah kamar Riandra membuat Riandra ingin menghilang dari bumi. Dalam hati ia menyesali kenapa selalu memutar musik dengan volume yang sangat kencang.
“Nanti suatu saat Farlon juga bisa mempunyai rumah seperti itu, asal Farlon mau belajar dan berusaha pasti bisa.”
“Benar Kak?”
Sigit mengangguk, “dan jangan lupa berdoa.”
“Farlon selalu berdoa,” katanya kembali menunduk.
“Jangan berhenti, terus berdoa. Apalagi ketika hujun turun harus lebih banyak berdoa karena doa dikala hujan itu insyaa Allah lebih cepat dikabulkan.”
“Oooo...” Farlon mengangguk. Dahinya berkerut seolah ia sedang mencerna semua kata-kata Sigit.
~o~
Riandra membacakan hafalan surat Al Maa’un dan berhenti sesaat pada ayat ketiga yang artinya, ‘dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin,’ lalu kembali membaca sampai habis di ayat ketujuh.
“Umi aku mau tanya.”
“Silakan Ri.”
“Bagaimana hukumnya kalau kita mempunyai tetangga yang sangat miskin?”
Umi Salamah yang dipanggil ke rumah untuk mengajarkan mengaji Riandra tersenyum mendengar pertanyaan itu.
“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain dan lingkungannya, jadi Riandra bisa menjadi orang yang bermanfaat dengan menolong tetangga tersebut.”
“Aku harus memberi makan setiap hari?” Tanya Riandra sambil bertopang dagu.
“Kenapa tidak? Bukan termasuk golongan orang beriman yang ia merasa kenyang tetapi tetangganya kelaparan.” Riandra diam mendengarkan, “Tapi... daripada kita memberi ikan lebih baik memberinya kail kan?” Umi Salamah yakin Riandra mengerti apa maksud perkataannya.
~o~
“Assalamu’alaikum... Selamat siang untuk semua om dan tante. Maaf Riandra mengganggu acaranya sebentar. Seperti yang papa tadi sudah katakan bahwa ada sesuatu yang ingin Riandra perlihatkan, semoga om dan tante berkenan yaa...” kata Riandra sambil memulai presentasinya. Arisan bulanan yang kali ini diadakan di rumahnya memberikan ide kepada Riandra untuk menggalang dana. “Ini rumah aku, eh bukan deh maksudnya rumah papa dan mama hehe,” tawa kecil terdengar dari peserta arisan, “aku bersyukur kepada mama dan papa yang memberiku rumah yang nyaman,” ia menekan keyboard laptop dan slide berganti. “Ini juga rumah kami tapi tampak dari belakang, jendela ungu itu kamarku. Sampai sebulan yang lalu aku tidak tahu kalau di belakang kamarku berdiri sebuah rumah yang... kumuh.” slide berganti dan wajah-wajah di depannya mulai berubah.
“Rumah itu dihuni oleh ibu dan dua orang anaknya yang masih balita. Si ibu bekerja sebagai buruh cuci dan menyetrika pakaian dari tetangga-tetangganya. Anak yang besar tidak bersekolah karena tidak mempunyai biaya jadi ia hanya di rumah sambil menjaga adiknya. Riandra ingin sekali membantunya berjalan normal kembali karena kakinya pincang, ia menjadi korban tabrak lari saat hujan deras. Riandra ingin sekali membantunya sekolah lagi, ingin memperbaiki rumah mereka yang selalu bocor kala hujan turun. Tapi Riandra tidak punya uang untuk membiayai itu semua oleh karena itu... Riandra berdiri di sini.” Ia menunduk walau tak ada gugup dalam kata-katanya. Ia terbiasa membuat presentasi dan telah memenangi lomba pidato antar sekolah. “Barangkali ada om dan tante yang ingin membantu. Sekian dari Riandra, terima kasih.” Ia mematikan laptop dan mencabut kabel koneksi ke proyektor.
~o~
“Terima kasih Pak Bu, dengan apa kami bisa membalas kebaikan kalian.” Berulang kali ibu Farlon membungkuk di depan mama dan papa Riandra.
Sigit dan Riandra yang melihatnya hanya tersenyum, mereka juga ikut bahagia karena donasi dari teman-teman orang tua Riandra cukup untuk memperbaiki atap rumah, bahkan om Restu yang berprofesi sebagai dokter tulang berjanji untuk mengobati kaki Farlon.
“Ah jangan begitu Bu, bukan apa-apa kok. Oh iya bisa kita ke rumah pak RT sekarang untuk kelengkapan administrasi Farlon di sekolah?” Dan mama papa Riandra juga bersedia membantu Farlon untuk bisa bersekolah lagi.
“Bisa Bu, mari Bu.” Kata ibu Farlon masih sambil membungkuk.
Tinggallah Sigit, Riandra dan Farlon yang berdiri di depan rumah sambil memperhatikan dua orang tukang yang sedang mengganti genting.
“Farlon bagaimana perasaanmu?”
Yang ditanya tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. “Senang buanget Kaak. Terima kasih yaa...”
“Jangan berterima kasih ke aku tapi ke Kak Riandra niih.”
“Iya sama Kak Riandra juga, terima kasih buangeett.” Katanya membuat Sigit dan Riandra tertawa.
“Kamu tahu tidak kenapa ini bisa terjadi?”
“Kenapa Kak Riandra?”
Riandra tersenyum, “karena hujan.” Farlon menatap Riandra bingung, “Gara-gara tulisan tentang hujan aku jadi mengenalmu.” Farlon masih bingung tapi tidak bagi Sigit.
“Di setiap kesulitan ada kemudahan dan akan beruntunglah orang-orang yang bersabar dalam kesulitannya.” Kata Sigit lebih ke dirinya sendiri.
oOo
No comments:
Post a Comment
leave ur track so i can visit u back :)