Taba tak kuasa membuka matanya, sakit di sekujur tubuh seraya berkumpul di pusat saraf dan mengirimkan sinyal untuk mengernyitkan mata, sakitnya sampai membuat ia terpejam. Hanya telinganya saja yang masih terbebas dari nyeri hingga dapat menangkap alunan suara yang lamat-lamat terdengar.
"’A’a mintumman fissamaa’i an-yakhsifa bikumul ‘ardhu fa’idzahiyatamuur."
Di antara sakit yang menusuk Taba berusaha mencerna suara itu.
"Amman haadzalladzii yarzuqukum in amsaka rizqah..."
Itu suratnya… surat yang Taba hafal sejak bertahun-tahun lalu, surat yang Taba senang membacanya karena tertulis namanya di sana.
"Ya Allah... sungguh Engkau sangat jeli merangkai takdir setiap ham-ba... erghh," sakit itu kembali menjalar. Dengan tenaga yang tersisa Taba berusaha menarik sabuk pengaman yang entah pengaitnya ada di mana. Bau bensin bercampur asap perlahan tercium oleh hidungnya yang meneteskan darah.
Tapi Taba tidak mengeluh, tidak merutuki kebodohannya melewati jalur licin di sepanjang tebing, tidak menyesali penolakannya tadi pagi ketika supirnya menawarkan untuk mengganti ban mobilnya yang sudah botak, karena Taba percaya bahwa menghindari takdir yang satu hanya akan membawanya ke takdir yang lain. Dan setiap takdir bermuara ke satu titik.
“Qul huwalladzi ‘ansya’akum wajaala lakumussam’a wal abshaara wal ‘af’idah, qalilamma tasykuruun.”
Lantunan ayat kembali terdengar di antara kesadarannya yang mulai menipis. Antara kepasrahan dan tetap berikhtiar, tidak tahu nasib mana yang tertulis di detik berikutnya. Tapi Taba tidak mau menyerah begitu saja karena ia tahu bahwa menyerah tidak ada dalam kamusnya. Sesuatu hal yang ditanamkan Abiyya-nya dari Taba menginjakkan kaki di hari pertama sekolah, "Ya Taba... menyerah itu artinya membuka jalan ke arah putus asa dan Allah tidak menyukai orang yang berputus asa jadi Taba tidak boleh menyerah, seberat apa pun pelajaran hari ini Taba harus bisa menguasainya." Taba kecil mengangguk sambil tetap memandang takzim Abiyya. Orang tua yang sangat dicintainya setelah Ummah.
"Faman-ya'tikum bi maa'in ma'in."
Surat tiga puluh ayat itu rampung sudah dibaca, suara lembut tadi tidak terdengar lagi digantikan dengan suara tetesan dari arah belakang mobil, bau bensin semakin menyengat. Bibir Taba pun semakin kencang merapal istighfar, tidak peduli rasa asin yang perlahan menyentuh lidahnya. Tak ada keinginannya menyentuh bagian mana saja yang terluka karena perhatiannya tertuju pada sabuk pengaman yang tak kunjung melepaskan dirinya.
"Allah... La ilaha illallahu..." Seakan tahu bahwa malaikat pencabut nyawa hanya berjarak beberapa hasta Taba mengubah bacaannya, ia perlu bersaksi untuk mengejawantahkan dirinya sebagai muslim sejati.
"Taba..."
"Ya Ummah."
"Tahukah Taba kenapa diberi nama Tabarok?"
Taba kecil menggeleng dipangkuan ibunda tercinta.
"Tabarok itu... salah satu artinya adalah keberkahan. Abiyya dan Ummah berharap hidup Taba penuh dengan keberkahan. Dan Taba harus berjanji pada Ummah untuk bisa hafal surat Al Mulk. Tahu kenapa?"
Taba kecil menggeleng lagi, tangannya sibuk memainkan ujung jilbab Ummah.
"Karena barang siapa yang membaca surat Al Mulk setiap malam maka akan dijauhkan dari siksa kubur, dan... surat Al Mulk dibuka dengan kata Tabarok."
"Seperti nama Taba?"
Ummah mengangguk sambil tersenyum. Senyuman Ummah yang masih diingatnya sampai detik ini, senyuman Abiyya yang masih diingatnya pula sampai detik ini. Taba pun tersenyum, tangannya berhenti mencari pengait sabuk pengaman. Dibacanya sekali lagi surat Al Mulk yang sudah dihafalnya bertahun-tahun lalu. Surat tiga puluh ayat yang sering membuatnya menangis karena artinya yang begitu dahsyat. Surat tiga puluh ayat yang menemaninya sebelum tertidur di setiap malam. Surat yang berisi namanya dan entah bagaimana tadi tiba-tiba terdengar dibacakan dengan indah, bagai menemaninya berjuang untuk keluar dari jurang.
Keberadaan Taba di dunia berakhir malam itu ketika tetesan bensin disambut dengan percikan api dan meledakkan mobil. Api melumat habis tapi Taba tak merasakan panasnya, kesadarannya yang terakhir hanya ketika kalimat tauhid bergetar di bibir sebelum akhirnya malaikat maut membawanya pergi.
"’A’a mintumman fissamaa’i an-yakhsifa bikumul ‘ardhu fa’idzahiyatamuur."
Di antara sakit yang menusuk Taba berusaha mencerna suara itu.
"Amman haadzalladzii yarzuqukum in amsaka rizqah..."
Itu suratnya… surat yang Taba hafal sejak bertahun-tahun lalu, surat yang Taba senang membacanya karena tertulis namanya di sana.
"Ya Allah... sungguh Engkau sangat jeli merangkai takdir setiap ham-ba... erghh," sakit itu kembali menjalar. Dengan tenaga yang tersisa Taba berusaha menarik sabuk pengaman yang entah pengaitnya ada di mana. Bau bensin bercampur asap perlahan tercium oleh hidungnya yang meneteskan darah.
Tapi Taba tidak mengeluh, tidak merutuki kebodohannya melewati jalur licin di sepanjang tebing, tidak menyesali penolakannya tadi pagi ketika supirnya menawarkan untuk mengganti ban mobilnya yang sudah botak, karena Taba percaya bahwa menghindari takdir yang satu hanya akan membawanya ke takdir yang lain. Dan setiap takdir bermuara ke satu titik.
“Qul huwalladzi ‘ansya’akum wajaala lakumussam’a wal abshaara wal ‘af’idah, qalilamma tasykuruun.”
Lantunan ayat kembali terdengar di antara kesadarannya yang mulai menipis. Antara kepasrahan dan tetap berikhtiar, tidak tahu nasib mana yang tertulis di detik berikutnya. Tapi Taba tidak mau menyerah begitu saja karena ia tahu bahwa menyerah tidak ada dalam kamusnya. Sesuatu hal yang ditanamkan Abiyya-nya dari Taba menginjakkan kaki di hari pertama sekolah, "Ya Taba... menyerah itu artinya membuka jalan ke arah putus asa dan Allah tidak menyukai orang yang berputus asa jadi Taba tidak boleh menyerah, seberat apa pun pelajaran hari ini Taba harus bisa menguasainya." Taba kecil mengangguk sambil tetap memandang takzim Abiyya. Orang tua yang sangat dicintainya setelah Ummah.
"Faman-ya'tikum bi maa'in ma'in."
Surat tiga puluh ayat itu rampung sudah dibaca, suara lembut tadi tidak terdengar lagi digantikan dengan suara tetesan dari arah belakang mobil, bau bensin semakin menyengat. Bibir Taba pun semakin kencang merapal istighfar, tidak peduli rasa asin yang perlahan menyentuh lidahnya. Tak ada keinginannya menyentuh bagian mana saja yang terluka karena perhatiannya tertuju pada sabuk pengaman yang tak kunjung melepaskan dirinya.
"Allah... La ilaha illallahu..." Seakan tahu bahwa malaikat pencabut nyawa hanya berjarak beberapa hasta Taba mengubah bacaannya, ia perlu bersaksi untuk mengejawantahkan dirinya sebagai muslim sejati.
"Taba..."
"Ya Ummah."
"Tahukah Taba kenapa diberi nama Tabarok?"
Taba kecil menggeleng dipangkuan ibunda tercinta.
"Tabarok itu... salah satu artinya adalah keberkahan. Abiyya dan Ummah berharap hidup Taba penuh dengan keberkahan. Dan Taba harus berjanji pada Ummah untuk bisa hafal surat Al Mulk. Tahu kenapa?"
Taba kecil menggeleng lagi, tangannya sibuk memainkan ujung jilbab Ummah.
"Karena barang siapa yang membaca surat Al Mulk setiap malam maka akan dijauhkan dari siksa kubur, dan... surat Al Mulk dibuka dengan kata Tabarok."
"Seperti nama Taba?"
Ummah mengangguk sambil tersenyum. Senyuman Ummah yang masih diingatnya sampai detik ini, senyuman Abiyya yang masih diingatnya pula sampai detik ini. Taba pun tersenyum, tangannya berhenti mencari pengait sabuk pengaman. Dibacanya sekali lagi surat Al Mulk yang sudah dihafalnya bertahun-tahun lalu. Surat tiga puluh ayat yang sering membuatnya menangis karena artinya yang begitu dahsyat. Surat tiga puluh ayat yang menemaninya sebelum tertidur di setiap malam. Surat yang berisi namanya dan entah bagaimana tadi tiba-tiba terdengar dibacakan dengan indah, bagai menemaninya berjuang untuk keluar dari jurang.
Keberadaan Taba di dunia berakhir malam itu ketika tetesan bensin disambut dengan percikan api dan meledakkan mobil. Api melumat habis tapi Taba tak merasakan panasnya, kesadarannya yang terakhir hanya ketika kalimat tauhid bergetar di bibir sebelum akhirnya malaikat maut membawanya pergi.
~.~
Cemaslah dengan apa yang akan kau sebutkan di ujung nafasmu.
No comments:
Post a Comment
leave ur track so i can visit u back :)