29.2.16

Pohon Mangga Afri

Afri merinding setiap melewati pohon mangga itu, padahal dalam sehari ia harus melewatinya beberapa kali. “Kalau pagi sampai sore sih tidak terlalu takut tapi kalau sudah malam... hiiyyy ngerii. Masa sih aku harus terkurung dalam rumah, tidak main bersama teman-temanku di luar sana hanya gara-gara ada... duuh menyebutnya saja aku takut!” Katanya dalam hati.

“Afriiii... Afriii...”

“Iyaa.” Tuh kan teman-temanku sudah memanggil.

“Afriii... ayo dong keluar, kita mau bermain galasin. Kamu mau ikut tidak siihh?”
Huuh ya mau lah, galasin kan permainan kesukaanku. “Mauu tunggu sebentar yaa.” Perlahan ia membuka pintu rumah, mengambil ancang-ancang kemudian berlari kencang sambil mengucap basmalah. Dengan sembrono ia membuka pintu pagar sampai menimbulkan bunyi berisik.

“Kamu kenapa?”

“Iya, kamu kenapa? kok berlari seperti itu?” Amran mengulang pertanyaan Yuda.

Namun Afri justru berkata, “ayo kita main nanti keburu malam.” Ia berjalan meninggalkan Amran, Yuda, Thomas dan beberapa anak lain. Tidak mau cerita ah nanti mereka malah menertawakanku. Sekilas ia melirik ke arah pohon mangga besar yang menyembul dari tembok rumahnya dan kembali bergidik.

~o~

Keesokan malam hal yang sama terjadi lagi, Afri takut ke luar rumah namun panggilan teman-temannya sangat menggoda, kali ini mereka berencana pergi ke pasar malam. Ia sudah mengantongi beberapa lembar uang sisa jajannya tadi siang, bianglala sudah terbayang di pelupuk mata tapi bayangan putih di salah satu dahan pohon mangga juga membayang.

“Afri, ditunggu tuh sama yang lain. Katanya kalian mau ke pasar malam ya?” Mita baru saja pulang dari kampus. Tadi di depan pagar ia bertemu teman-teman Afri.

“Iya.” Jawab Afri bimbang.

“Sudah bilang sama Ibu dan Ayah?”

“Belum.”

“Loh bagaimana sih, ya sudah nanti kakak saja yang memberitahu mereka, sana berangkat kasihan teman-teman kamu menunggu.” Sedetik kemudian memang Amran, Yuda dan yang lain memanggil Afri. Dan Afri kembali mengumpulkan tekadnya, membaca ayat kursi, membuka pintu rumah lalu berlari kencang menuju pagar. Mita terheran-heran melihatnya.

“Kamu kenapa sih dari kemarin?” Sama seperti teman-teman Afri.

“Ayo pergi sekarang.” Dan sikap Afri pun juga sama seperti kemarin.

~o~

Ternyata pasar malam lebih ramai dari yang mereka bayangkan, selain bianglala ada juga komedi putar dan kora-kora. Berbagai mainan anak dijajakan sepanjang jalan begitu pula dengan baju, celana, sandal dan aneka makanan. Untungnya Bang Ridwan kakak Amran ikut menemani.

“Mau main apa dulu yaa...” Kata Thomas bingung.

“Aku mau naik bianglala.” Afri masih konsisten dengan keinginannya.

“Perosotan.” Kinaya menunjuk ke arah perosotan yang terbuat dari balon. 

“Mau beli itu.” Hasni menunjuk ke gulali kapas warna warni dalam plastik.

“Kalau aku maunya yang itu.” Ratna lain lagi, ia mengarahkan pandangannya ke bakso cilok yang ramai pembeli.

“Hmm....” Dan bang Ridwan harus pintar-pintar mengambil keputusan agar anak-anak ini tidak terpisah. “Bagaimana kalau kita membeli makanan dulu baru setelah itu naik bianglala.”

“Perosotan?” Tanya Kinaya.

“Setelah naik bianglala kita semua bermain perosotan.”

“Tidak mau main perosotan itu kan permainan anak cewek. Mau main kora-kora saja.” Protes Amran diiyakan oleh Thomas, Yuda dan Afri. 

Akhirnya setelah menimbang-nimbang sebentar bang Ridwan membolehkan anak perempuan bermain perosotan sedangkan anak laki-laki bermain kora-kora. Untunglah kedua permainan itu berada berhadapan sehingga bang Ridwan bisa mengawasi mereka semua. 

Dua jam berlalu dengan cepat, waktunya mereka pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan mereka tertawa bahagia, tapi tawa Afri menghilang ketika ia telah tiba di depan rumahnya.

“Dadagh Afri.” Teman-temannya melambai sambil terus berjalan ke rumah masing-masing.

“Jangan tidur larut malam ya Fri agar besok tidak terlambat shalat subuh.” Bang Ridwan menyempatkan diri untuk mengingatkannya lalu kembali berjalan pulang.

Afri mengangguk, dalam hati ia melamatkan doa-doa. Dibukanya pintu gerbang dengan tergesa-gesa kemudian berlari di antara motor Mita dan mobil ayah. Hampir terpeleset ketika menginjak tumpukan sandal di teras lalu membuka pintu rumah dengan kencang.

“Afri! Apa-apaan sih kamu?” Mita yang sedang duduk di ruang tamu merasa terganggu oleh sikapnya.

“Hhh... hfff....” Afri mengatur nafas yang tersengal.

”Kenapa tergesa-gesa begitu?” Tanya Mita menyelidik.

“Tii-dak kok. Biasa saja.”

“Jangan bohong!”

“Eeeh ada apa sih ini sudah malam masih bertengkar.”

“Ini loh Bu si Afri sekarang hobinya lari dari pintu rumah sampai ke gerbang. Tadi dia hampir terpeleset gara-gara berlari kencang.” Ternyata Mita memperhatikan Afri. 

“Afri, benar yang kakakmu bilang?”

Aduh bagaimana ini kalau aku cerita pasti ditertawakan, kata Afri dalam hati lalu ia menggeleng, “Tii-dak kook.” Diulangnya jawaban.

“Ck! Bohong dia Bu, pasti ada sesuatu.” Kata Mita jengkel. 

Ayah yang mendengar perbincangan itu dari ruang keluarga kemudian menghampiri mereka namun Afri masih tutup mulut dengan wajah bimbang. Oleh ayah dibimbingnya Afri ke kamar, “Sekarang Afri bisa menceritakan pada Ayah.” Beberapa menit berlalu kemudian Afri mendekat dan membisiki ayah.

“Ooo begitu, baik nanti Ayah lihat ya. Tapi kalau di dalam rumah tidak takut kan?”

“Tidak Ayah.” Ada perasaan lega setelah Afri memberitahu kegundahannya selama ini. Ia percaya kalau ayahnya pasti bisa mengusir hantu itu.

~o~

Tidur sampai siang menjadi kebiasaan Afri ketika hari libur. Ayah dan ibu tidak melarangnya asalkan ia tetap bangun pagi untuk shalat subuh dan menunggu sampai matahari terbit, “langsung tidur setelah shalat subuh itu tidak baik Afri, tunggulah sampai pagi ya.” Begitu kata ayah waktu itu dan tanpa dikomando lagi matanya memang menjadi sangat berat ketika waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. Afri akan mengakhiri buku yang ia baca kemudian menarik selimut sampai matahari siang menembus jendela kamar yang telah ibu buka.

“Afri ayo bangun,” tapi hari ini masih pagi ketika ayah membangunkannya. “Afri.” Tepukan pelan di pundak membuat Afri membuka mata. “Ikut Ayah.”

“Mau kemana?” Kata Afri sambil masih setengah terpejam.

“Memetik mangga.”

“Haahh.” Tapi demi mendengar kata mangga kantuk Afri menjadi hilang. “Tidak mau ah. Takut. Ada penunggunya.”

Ayah tertawa kecil, tentu saja ayah masih ingat ketika Afri membisiki dan memberitahu kalau ia melihat bayangan putih di atas pohon mangga, ayah pun dapat merasakan getirnya suara Afri ketika mengatakan kalau bayangan putih itu kuntilanak. 

“Ayolah... percaya sama Ayah. Dan lagi masa siang-siang ada hantu.”

“Aaa-da kook siang hari juga dia masih di situ.”

“Tapi kalau siang Afri tidak takut kan?”

Afri tersenyum lebar, “Sedikit.”

Ayah tertawa lagi. “Tenang saja kan ada Ayah.” Perlahan ayah menyibak selimut yang mau tidak mau Afri harus bangun.

Sambil menguap ia mengikuti langkah ayah ke teras, memperhatikan ayah yang mulai memanjat pohon.

“Hiiyyy...” Kata Afri spontan.

“Afri coba lihat ke atas.” Walau takut tapi perintah ayah langsung diikuti oleh Afri. Di antara rimbunnya dedaunan terlihat warna putih bergerak-gerak. Ia mundur beberapa langkah. “Coba perhatikan lebih seksama.” Suara Ayah yang tegas membuat Afri kembali menurut.

Ayah mendekati si putih itu, beliau tidak terlihat takut bahkan duduk di cabang terdekat lalu tangannya menyentuh si putih, bergerak-gerak di atasnya. Afri harus berpindah posisi untuk mengetahui apa yang dilakukan ayah.

“Kaaaiin?” Ternyata tadi ayah membuka ikatan yang di dalamnya berisi banyak buah mangga berwarna kekuningan. “Jadi? Putih-putih itu bukan...” Afri berkata pelan.

“Bukan apa? Hantu? Haha dasar penakut.” Mita tiba-tiba muncul dan tertawa meledek. “Jadi itu alasanmu belakangan ini?” 

“Buah mangga yang ditutup kain itu lebih cepat matang dan tidak dimakan serangga Fri.” Sambil menuruni dahan ayah berkata.

“Tuuuh dengar tuuh kata Ayah, dasar penakut.” Mita mengulang ledekannya.

“Sudah jangan ganggu adikmu.” 

“Habisnya Yah si Afri ini konyol sekali. Makanya lain kali cerita doong atau sekedar bertanya biar tidak salah sangka.”

“Bagaimana mau cerita kalau Kakak selalu meledek, huh!” Mita tidak menyangka dengan jawaban itu apalagi Afri langsung menghambur ke dalam kamarnya meninggalkan Mita dan ayah yang saling pandang.

~o~

“Afri boleh Kakak masuk?” Tidak menunggu Afri menjawab Mita sudah membuka pintu kamarnya dan mendapati Afri yang tidur tengkurap. “Maaf ya.” Belaiannya terasa hangat di punggung Afri. “Kakak jahat ya? Padahal Kakak hanya bercanda loh.” Afri masih diam, “Nih Kakak bawakan mangga yang tadi diambil ayah, enak deh maniiiss banget seperti Afri.” Rayunya yang ternyata membuat Afri tertawa. “Kakak jadi teringat dengan sebuah cerita mengenai paku di dinding, Afri mau mendengarnya?” Tanya Mita kepada Afri yang sudah membalik badan.

“Mau Ka.” Seketika Afri duduk di ranjang dan mulai menyantap mangga yang disodorkan oleh Mita.

“Ada seorang anak yang sangat nakal. Jika sedang marah atau kesal atau jahil dengan mudahnya ia meledek, mengumpat bahkan menghina, lalu suatu hari sang ayah memberikan sekantong besar paku sambil berkata bahwa setiap ia ingin berbuat jahat pada orang lain ia harus menancapkan paku di dinding garasi, ternyata anak tersebut setuju. Keesokannya ada seorang pengemis yang melintas dan ia ingin sekali mengganggu pengemis itu, tapi alih-alih menghina ia justru mengambil paku-paku untuk ditancapkan ke dinding, pikirnya kegiatan menancap paku lebih menyenangkan karena tidak dimarahi walau telah merusak sesuatu. Setelah lelah memaku barulah ia berhenti, keesokan hari hal itu terjadi lagi dan ia kembali menancapkan paku. Kejadian itu berlangsung setiap keinginannya untuk berbuat nakal muncul, sampai suatu hari ia melihat dinding garasinya sudah penuh dengan paku, tidak ada lagi celah tersisa lalu ia terdiam, merenungkan bahwa apa yang telah ia lakukan itu sangat melelahkan dan membuat jelek dinding garasi. Kepada ayahnya ia berkata bahwa mulai saat ini tidak mau lagi memaku dinding dan akan berusaha untuk menjadi anak yang baik. Si ayah sangat senang mendengar itu tapi ayahnya memberikan tugas baru untuk menguji kesabarannya.”

“Apa itu Kak?” 

“Yaitu mencabut semua paku di dinding. Meski agak berat namun anak tersebut menyanggupi dan beberapa lama kemudian dinding garasi sudah tidak berpaku lagi. Tapi sayangnya lubang di dinding bekas paku-paku itu menancap tidak bisa hilang begitu saja. Ia memberitahu sang ayah dan ayahnya berkata bahwa paku-paku itu ibarat perkataan atau sikap jahat kita kepada orang lain yang akan membekas di hati walau kita sudah meminta maaf.”

Afri mendengarkan dengan serius sambil tidak berhenti mengunyah mangga.

“Jadi... apa perkataan kakak tadi ibarat menancapkan paku? Apa Afri marah dan sakitnya akan terus membekas di hati Afri?”

Bukannya menjawab Afri justru memeluk Mita, “Tidak Kak, Afri tidak marah.”

“Sungguh?”

“Iya,” Afri menggangguk, “malahan Afri malu karena sudah menjadi anak penakut, hehe. Padahal setan kan justru takut ya Ka sama manusia.”

Mita berkaca-kaca mendengarnya, “iya sayaangg.” Dipeluknya Afri dengan erat. Dalam hati ia berjanji akan berusaha menjadi kakak yang lebih baik sekaligus sahabat bagi Afri.

oOo

 






No comments:

Post a Comment

leave ur track so i can visit u back :)

Friends *ThankU ;)